Mohon tunggu...
Raffi Muhamad Faruq
Raffi Muhamad Faruq Mohon Tunggu... Mahasiswa, Peternak, Pengamat sepak bola, dan Pebisnis.

Seorang mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prodi Manajemen Pendidikan Islam. Menerima jasa konsultasi kuliah bagi mahasiswa. Memiliki peternakan Ayam Hias, Ayam Pelung dan Beberapa jenis burung (Perkutut, Derkuku dan Kicau). Menerima ajakan Bal-balan dan diskusi mengenai sepak bola. Menerima pesanan bibit pohon dan bonsai (by request). Menerima dan tidak akan menolak ajakan masuk Surga. Informasi lebih lanjut hubungi 0821-1939-4586 (WA), raffimfrq (Instagram). Raffi Muhamad Faruq (Facebook dan X/Twitter), raffimfrq@gmail.com, hobbypelunggarut@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ketika Bahagia Menjadi Sesuatu yang Dikejar, Bukan Dirasakan

18 Oktober 2025   19:49 Diperbarui: 18 Oktober 2025   19:49 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: https://kumparan.com/elisabeth-deby-anggita-sinurat/tingkat-kebahagiaan-di-seluruh-dunia-1zVAh56UGsj

Oleh: Raffi Muhamad Faruq

Ada satu ketakutan halus yang menempel di benak banyak anak muda hari ini: ketakutan akan terlambat bahagia. Ketakutan itu muncul bukan karena mereka tak berusaha, tapi karena hidup modern begitu gemar memberi tenggat, usia dua puluh lima harus mapan, tiga puluh harus menikah, tiga puluh lima harus punya rumah dan mobil, sementara di atas itu, seolah semua sudah terlambat. Akhirnya, hidup bukan lagi tentang berjalan dengan tenang, tapi berlari dengan cemas, mengejar standar yang bahkan tidak jelas datang dari mana.

Kita tumbuh di tengah budaya pembandingan yang begitu masif. Lini masa media sosial dipenuhi kabar bahagia orang lain, pencapaian yang tampak mudah, kisah cinta yang kelihatannya sempurna. Dari sana, lahirlah ilusi bahwa kebahagiaan adalah urusan kecepatan, siapa yang lebih dulu sampai, dialah yang menang. Padahal, yang tampak di layar hanyalah potongan dari kehidupan, bukan keseluruhan cerita. Banyak dari kita lupa bahwa kebahagiaan tak pernah seragam bentuknya, dan setiap orang punya ritme hidup yang berbeda-beda. Namun, karena takut dianggap tertinggal, banyak anak muda akhirnya memaksa diri untuk cepat-cepat tiba di tempat yang bahkan belum siap ia datangi.

Ketergesaan itu menjelma dalam banyak bentuk. Ada yang terburu-buru memilih pasangan, bukan karena siap, tapi karena takut sendirian. Ada yang nekat bekerja tanpa arah, hanya agar terlihat produktif. Ada pula yang menumpuk mimpi demi pengakuan, bukan karena betul-betul ingin. Dalam semua itu, kita sering lupa bahwa tergesa bukan tanda semangat, melainkan cermin dari ketakutan yang belum selesai kita pahami. Kita begitu sibuk membuktikan diri, hingga lupa menikmati diri sendiri.

Padahal, hidup tak pernah punya satu peta yang berlaku untuk semua orang. Ada yang menemukan tujuannya di usia muda, ada pula yang baru mengerti arah setelah banyak tersesat. Ada yang menikah cepat dan bahagia, ada pula yang bahagia justru setelah banyak kehilangan. Semua orang punya waktu dan jalannya sendiri, dan tidak ada yang benar-benar tertinggal selama ia terus berjalan. Kita hanya sering salah menafsirkan diam sebagai keterlambatan, padahal bisa jadi itu adalah cara hidup memberi jeda agar langkah kita lebih matang.

Menjadi muda di zaman ini memang tidak mudah. Kita dituntut untuk selalu tampak kuat, produktif, bahagia, dan tahu arah. Padahal, tidak apa-apa bila kita belum tahu semuanya. Tidak apa-apa bila kita sedang beristirahat. Tidak apa-apa bila kita tidak punya apa pun untuk dibanggakan hari ini. Hidup tidak sedang menilai seberapa cepat kita sampai, tapi seberapa jujur kita menjalani. Kadang yang paling berani justru bukan mereka yang berlari kencang, melainkan mereka yang berani berhenti sebentar untuk memastikan arah langkahnya benar.

Kita lupa, kebahagiaan tidak datang sebagai hadiah bagi yang paling sibuk, tapi hadir pelan-pelan dalam hati yang bisa menerima keadaan apa adanya. Bahagia bukan tentang punya segalanya, tapi tentang bisa merelakan atas apa yang masih tertinggal. Bukan tentang siapa yang paling dulu sampai, tapi siapa yang mampu bertahan dengan tenang tanpa kehilangan diri sendiri. Mungkin itulah sebabnya banyak orang yang tampak berhasil tapi tetap merasa kurang, sebab yang dikejar bukan makna, melainkan pembuktian.

Menunda sedikit bukan berarti kalah, justru sering kali itu bentuk kedewasaan. Seperti benih yang menunggu musimnya sendiri untuk tumbuh, setiap orang punya waktunya masing-masing untuk mekar. Dan di situlah rahasia kehidupan bekerja: bahwa yang lambat bukan selalu kalah, dan yang cepat belum tentu menang. Karena pada akhirnya, hidup bukan kompetisi, melainkan perjalanan panjang untuk memahami diri sendiri, mencintai secukupnya, dan beristirahat pada waktu yang tepat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun