Sebagai mahasiswa, terutama yang merantau, masuk ke pasar tradisional bukan sekadar urusan logistik, itu petualangan emosional. Pasar bukan tempat belanja biasa, tapi arena sosial dengan kode-kode tak tertulis, bahasa tubuh yang harus dipahami, dan seni tawar-menawar yang tidak diajarkan di mata kuliah mana pun. Masuk pasar tanpa pengalaman seperti masuk lab tanpa alat pelindung: potensi luka batin sangat besar.
Kita sering meromantisasi hidup hemat ala mahasiswa: bawa totebag, masak sendiri, ngopi sambil baca buku. Tapi kenyataannya, banyak dari kita justru keluar pasar dengan wajah bingung, uang berkurang, dan rasa malu karena beli tomat busuk karena "kelihatan murah." Apa yang kita kira hemat, kadang justru jadi boros karena salah strategi atau terlalu polos.
Fenomena ini memperlihatkan sesuatu yang lebih dalam: kita hidup di antara idealisme mandiri dan realita kemampuan terbatas. Kita ingin hemat, tapi belum punya skill masak. Kita ingin dewasa, tapi masih kagok menawar. Kita ingin terlihat bijak, tapi justru tertipu harga cabai. Ini bukan salah siapa-siapa, ini proses belajar yang nyata, bukan dari buku, tapi dari pengalaman (dan kerugian).
Namun, di balik semua kekonyolan itu, ada nilai penting yang bisa dipetik: bahwa belajar mandiri tidak selalu tentang hasil yang sempurna, tapi soal keberanian untuk mencoba. Bahkan jika itu berarti salah beli, kemahalan, atau salah potong ayam.
Karena bagi mahasiswa, kadang "hemat" bukan tentang uang yang disimpan, tapi tentang cerita yang bisa dikenang. Dan pasar tradisional? Selalu jadi tempat yang menyimpan banyak pelajaran---plus bonus trauma kecil-kecilan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI