Mohon tunggu...
Rafdiansyah  MHI
Rafdiansyah MHI Mohon Tunggu... Penulis - Penghulu Ahli Muda

Juara 1 Nanang Banjar Tahun 2004, Nanang Banjar Komunikatif 2003

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ilmu Kepenghuluan: Wacana Restorasi dan Revitalisasi Peran Penghulu Negara ( Bagian II)

13 Januari 2021   10:11 Diperbarui: 13 Januari 2021   10:18 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Perjuangan mengembalikan maruah penghulu menjadi figur penting dalam proses bernegara tidak dapat dipandang sebelah mata. Poin pentingnya adalah penghulu harus berubah menjadi sosok yang multi talent dengan kualitas yang tidak diragukan, baik secara akademik atau perilaku (akhlaq). Sejalan dengan hal ini, pemerintah pun ikut andil dan harus mendengar aspirasi dan  menentukan arah kebijakan dalam aksi perubahan besar, terutama secara politik tata negara dan kelembagaan. 

Sudah saatnya para penghulu menjadi anggota badan  koordinasi kepenghuluan yang independen, jikapun harus terpisah dari kementerian agama dalam menentukan arah haluan organisasi dan memiliki tata kelola rumah tangga yang khusus, termasuk meningkatkan citra penghulu yang bersih independen, dan melayani sesuai dengan program reformasi birokrasi yang digaungkan sampai hari ini, dengan zona integritas sebagai daya tarik utama.  

Jika lembaga kepenghuluan telah terbentuk secara otonom, maka langkah selanjutnya adalah menyiapkan sumberdaya dengan citra baru mengawal lembaga kepenghuluan ini ke arah yang lebih baik, dengan menyelesaikan masalah pokok yang sering terjadi dalam pelayanan kepada masyarakat. Mengembalikan kewenangan-kewenangan penghulu dimasa lalu juga menjadi rencana prioritas melalui usaha konstitusional. Yang tidak kalah penting adalah rebranding citra penghulu dengan paradigma baru, dimulai dari ketetapan pemerintah melalui dewan permusyawaratan rakyat, membentuk lembaga hukum baru semisal, badan koordinasi kepenghuluan nasional, atau komisi kepenghuluan yang berintegritas mendukung program pemerintah dibidang kepenghuluan.

Dengan pola rekrutmen yang transparan dan adil;  setelah lembaga kepenghuluan terbentuk, prioritas utama adalah rekrutmen calon penghulu dari jalur karir dengan pola ikatan dinas, dalam sebuah lembaga akademik seperti sekolah tinggi ilmu kepenghuluan (STI-Penghulu) untuk mencetak kader-kader penghulu yang berintegritas, bersih melayani dari sarjana-sarjana fakultas syariah terbaik, dalam negeri maupun luar negeri yang menguasai ilmu hukum.

Lantas, bagaimana dengan kantor urusan agama (KUA) yang jumlahnya lebih dari lima ribuan unit kerja yang tersebar ditiap kecamatan? apakah perlu dilebur satu dengan yang lain? Tentu hal ini adalah pekerjaan rumah yang tidak mudah. Hanya saja, mengingat tujuan dibentuknya lembaga kepenghuluan independen ini untuk mengakomodasi pelayanan di masyarakat, maka dengan ketetapan dan kepastian hukum, lembaga kepenghuluan yang baru ini hanya berganti nama, dari KUA menjadi balai nikah besar atau kantor  kepenghuluan negara yang ditempatkan di kabupaten saja, tidak lagi tersebar dikecamatan. Otomatis, merasionalisasi  jumlah unit kerja yang dibentuk hingga kepelosok. Di tingkat pusat, disebut Kepenghuluan Agung dengan beberapa penghulu agung sebagai anggota, berkurangnya unit kerja ditingkat kecamatan tidak menyurutkan usaha keagaamaan dan dakwah islamiyah berkurang, justru pelayanan dibidang keagaamaan dapat dikendalikan dengan mutu yang lebih baik. 

Dengan rampingnya lembaga kepenghuluan, tujuan reformasi birokrasi akan mudah dicapai dengan akreditasi penjaminan mutu unit kerja. Tidak tidak berada pada keadaan saat ini, KUA tidak diakreditasi dan tidak terjamin mutunya oleh sebuah lembaga penjamin mutu internal KUA, malah meminta bantuan lembaga lain untuk menilai mutu KUA. 

Sejauh penelurusan yang penulis ketahui, memang  ada KUA yang telah memiliki sertifikat penjaminan mutu selevel ISO dalam pengelolaannya, tentu ketika melibatkan pihak ketiga untuk menilai, maka sudah pasti akan mengeluarkan biaya besar untuk meraih sertifikasi tersebut dan meningkatkan prestise antar KUA karena jika sudah melalui rangkaian penilaian , KUA yang diakreditasi menjadi KUA yang bisa dan patut diteladani dalam manajerial dan pelayanannya kepada masyarakat. 

Menurut hemat saya, ketika mengambil langkah untuk mensertifikasi mutu KUA oleh pihak ketiga, hal ini justru menjadi bumerang bagi pemerintah, karena dengan mengalokasikan dana khusus untuk penjaminan mutu  KUA beban KUA semakin bertambah. Kemudian, sampai kapan kualitas dan mutu KUA akan bertahan, dan mengapa hal ini tidak dievaluasi menjadi kebijakan baru dengan memunculkan lembaga akreditasi penjaminan mutu pelayanan KUA dari internal kementerian, dan tentu akan memotivasi KUA untuk melakukan aksi perubahan yang besar. 

Tidak kalah penting, masalah SDM , infrastruktur KUA dan finansial pembangunan KUA baru jadi PR pemerintah. Di sadari atau tidak, kuantitas mengalahkan kualitas. Banyaknya sebaran KUA hingga kepelosok faktanya tidak menjamin pada kualitas pelayanan, sementara tuntutan untuk reformasi birokrasi terus menjadi visi dan misi pemerintah melalui zona integritas. Setiap tahun satuan kerja/unit kerja yang diusulkan menjadi satker WBK dan WBBM terus menanjak pun dengan kementerian agama. Tahun 2020 , berdasarkan rilis panitia penghargaan WBK dan WBBM award kementerian PANRB, nama kementerian agama Denpasar, Bali, muncul sebagai peraih WBBM. Pertanyaannya, mana satker / unit kerja yang lainnya? apakah sudah mencanangkan zona integritas (ZI).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun