Sumber : Rejabar_Republika
Belakangan ini masyarakat Cirebon sedang dihebohkan dengan penolakan pembangunan gereja yang lebih tepatnya berada di Kelurahan Pegambiran, Kecamatan Lemahwungkuk. Dimana pembangunan gereja ini, akan menggunakan bangunan yang awalnya merupakan gudang kosong yang akan dialihfungsikan menjadi tempat ibadah, Namun sebagian warga menolak itu dikarenakan merasa tidak pernah mendapatkan sosialisasi yang jelas dari pihak pengusuk.
bahkan sebagian titin telah terpasang spanduk penolakan atas pembangunan tempat ibadah tersebut sebelum akhirnya diturunkan untuk menjaga ketertiban. Warga memberikan pendapat serta alasan bahwa merubah fungsi bangunan tanpa didahului oleh musyawarah akan menimbulkan keresahan. Dan warga juga menilai bahwa prosesnya tidak transparan dan tidak sesuai dengan prosedur yang seharusnya.
Sementara itu pemerintah setempat melalui Camat Lemahwungkuk telah memberikan fasilitas dialog antar warga, pihak gereja, dan tokoh masyarakat untuk menjalin keharmonisan serta kerukunan antar umat beragama yang selama ini telah terjalin baik di Cirebon. Untuk sisi administrasi, pihak yang mengajukan pendirian disebut telah mengantongi atau memiliki izin resmi rekomendasi dari Lurah dan Kementerian Agama, namun izin dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) belum terbit karena situasi di lapangan dianggap belum dalam kondisi yang stabil. Ketua FKUB Kota Cirebon pun menegaskan bahwa secara prinsip, pihaknya tidak menolak pendirian rumah ibadah selama prosesnya sesuai aturan dan tidak menimbulkan gesekan di masyarakat
Kasus ini dapat dihububgkan dengan sikap partikularisme,
"Partikularisme" adalah sikap yang lebih mementingkan kepentingan kelompok tertentu dibandingkan yang lain. Dalam kasus penolakan pembangunan gereja di Cirebon, warga lebih mengutamakan kepentingan serta kenyamanan kelompok mereka sendiri daripada kelompok minoritas dan sangat berbanding terbalik dengan prinsip kebebasan beragama. Penolakan karena Warga tidak setuju dikarenakan tidak ada sosialisasi perbincangan mengenai pengalihfungsian tempat kosong menjadi rumah ibadah. Sikap ini menunjukkan bahwa keputusan warga tidak berdasarkan aturan yang berlaku dan dapat diterima untuk semua orang.
Dalam menyusun langkah sistematis untuk mencari solusi maka diperlukannya mengidentifikasi pihak mana saja yang terlibat, diantaranya warga, pihak gereja, pemerintah, dan FKUB, lalu diperlukannya pengumpulan data dari masing masing pihak
Setelah pengumpulan data maka munculah akar masalahnya yang diantaranya kurangnya sosialisasi dan komunikasi yang menyebabkan kesalahpahaman yang terjadi di masyarakat, setelah mendapatkan inti atau akar dari permasalahan itu maka diperlukannya penyusunan rencana perbaikan seperti
mengadakan dialog terbuka, memberikan penjelasan yang transparan, serta memastikan prosedur perizinan berjalan sesuai aturan. Agar tidak menimbulkan keresahan diantara warga sekitar.
Setelah kita mengetahui hal-hal di atas, maka bagaimana implementasi solusi dan evaluasi yang bisa dilakukan? Implementasi solusi yang dapat kita lakukan yaitu, kita perlu menanamkan dan mengajak lingkungan kita untuk mau memunculkan rasa inklusif (menerima semua), saling berpartisipasi dalam kegiatan kemanusiaan di sekitar, dan mau memperkuat tali persaudaraan antar perbedaan. Dengan begitu, kita dapat saling berangkulan, tanpa munculnya sifat parikularisme di sekitar lingkungan kita. Dari hal itu, kita haris mengevaluasi, bagaimana rasa empati kita kepada lingkungan sekitar, bagaimana organisasi perbedaan di lingkungan kita, bagaimana perubahan perilaku yang dapat diantisipasi. Maka dari itu, jika kita memiliki kesadaran yang sama, kita dapat menciptakan hal indah di lingkungan kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI