Drama adalah seni pertunjukan yang lahir dari kebutuhan manusia untuk bercerita, berbagi emosi, dan merefleksikan hidup. Ia bukan sekadar tontonan, melainkan juga medium untuk menyuarakan gagasan, keyakinan, dan kegelisahan. Jika kita menelusuri jejak sejarahnya, drama bergerak panjang: dari altar suci Yunani, arena Romawi yang megah, panggung Eropa pada zaman Renaissance, hingga format eksperimental modern yang merambah dunia digital.
Awal mula drama sering dikaitkan dengan Yunani Kuno pada abad ke-5 sebelum Masehi. Dari ritual persembahan untuk dewa Dionysus, lahirlah tragedi dan komedi yang ditata dalam bentuk teater. Nama-nama seperti Aeschylus, Sophocles, dan Euripides menorehkan kisah-kisah tragedi besar tentang nasib, kehendak dewa, dan pertarungan batin manusia. Sementara itu, Aristophanes menghadirkan komedi satir yang menyentil kehidupan sosial-politik pada zamannya. Drama Yunani bukan hanya hiburan, melainkan juga ruang kontemplasi filosofis, di mana masyarakat bisa menatap dirinya sendiri lewat kisah di panggung terbuka amphitheater.
Tradisi itu kemudian diambil alih dan diolah kembali oleh bangsa Romawi. Mereka menyebarkan drama ke seluruh penjuru kekaisaran dengan bentuk yang lebih besar dan megah. Plautus dan Terence dikenal lewat komedi yang penuh intrik dan humor, sedangkan Seneca menulis tragedi dengan gaya retoris yang berpengaruh pada Eropa di kemudian hari. Namun, teater Romawi perlahan kehilangan bobot reflektifnya, bergeser ke arah tontonan massal dengan arena gladiator dan pertunjukan spektakel. Meski begitu, Romawi berjasa memperluas pengaruh drama hingga melintasi batas geografis dan kultural.
Ketika memasuki Abad Pertengahan, drama menemukan wujud baru. Gereja menjadi ruang lahirnya drama liturgi yang menampilkan kisah-kisah Alkitab dalam bentuk pertunjukan. Drama moralitas, misteri, dan miracle play hadir sebagai sarana pendidikan iman bagi masyarakat awam. Dari ruang sakral gereja, drama kemudian melangkah ke alun-alun kota, menjadi bagian dari kehidupan sosial sekaligus wahana dakwah moral.
Renaissance menghidupkan kembali semangat drama klasik, sekaligus membuka jalan bagi kebebasan baru dalam berkesenian. Italia melahirkan commedia dell'arte dengan karakter-karakter topeng yang ikonik, penuh improvisasi, dan dekat dengan kehidupan rakyat. Inggris memasuki masa keemasan dengan karya William Shakespeare, Christopher Marlowe, dan Ben Jonson. Dari panggung Globe Theatre, Shakespeare mengguncang dunia dengan kisah cinta, pengkhianatan, ambisi, dan tragedi universal yang hingga kini masih relevan. Di Spanyol, Lope de Vega dan Caldern de la Barca membawa warna baru dengan drama yang menyinggung kehormatan, cinta, dan keyakinan. Masa ini menegaskan bahwa drama telah menjadi bahasa kemanusiaan yang melintasi batas negara dan budaya.
Zaman modern membawa drama ke arah yang lebih realistis dan kritis. Henrik Ibsen dari Norwegia mengguncang Eropa dengan realisme panggung, menghadirkan problem keluarga dan masyarakat tanpa tabir. Anton Chekhov di Rusia menawarkan drama psikologis yang lebih halus, menghadirkan kehidupan sehari-hari dengan kesunyiannya yang dalam. Di abad ke-20, Bertolt Brecht mengusung teater epik yang membuat penonton berpikir kritis, sementara Samuel Beckett dengan "teater absurd" menggambarkan betapa rapuh dan tidak masuk akalnya eksistensi manusia. Drama tak lagi hanya soal cerita, tetapi juga eksperimen cara bercerita.
Kini, drama berkembang semakin cair dan lintas batas. Pertunjukan kontemporer menggabungkan teater, tari, musik, seni rupa, hingga teknologi digital. Panggung bukan lagi satu-satunya medium, karena drama bisa hadir di layar, ruang virtual, bahkan dalam bentuk interaktif. Tema-temanya pun meluas: identitas, gender, krisis lingkungan, hingga kegelisahan hidup di era digital. Dalam setiap transformasinya, drama tetap memegang fungsi esensial: menjadi cermin bagi manusia untuk memahami diri, zamannya, dan sesamanya.
Sejarah panjang drama menunjukkan bahwa ia bukan sekadar hiburan, melainkan ruang dialog abadi antara manusia dan kehidupan. Dari tragedi Yunani, panggung Romawi, liturgi Abad Pertengahan, renaisans Shakespeare, hingga eksperimentasi modern, drama terus beradaptasi. Ia berubah rupa, tetapi tetap mengandung semangat yang sama: mengajak manusia merenungkan siapa dirinya dan kemana ia melangkah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI