Ia juga membagi proses retoris menjadi lima kanon: inventio (penemuan argumen), dispositio (penyusunan), elocutio (gaya bahasa), memoria (hafalan), dan actio (penyampaian).
Era Romawi Retorika sebagai Keterampilan Praktis
Bangsa Romawi mengadopsi dan mengadaptasi retorika Yunani untuk kebutuhan administrasi dan hukum kekaisaran mereka yang luas.
Bagi Romawi, retorika adalah keterampilan praktis bagi para negarawan, pengacara, dan administrator. Tokoh terpenting dalam periode ini adalah Cicero dan Quintilian.
Cicero, seorang ahli pidato, dalam karyanya seperti "De Oratore", menggambarkan sang orator ideal sebagai manusia yang berpengetahuan luas dalam semua bidang.
Retorika, baginya, adalah gabungan antara kebijaksanaan (sapientia) dan kemampuan berbahasa (eloquentia).
Sementara itu, Quintilian dalam "Institutio Oratoria" menekankan aspek moral dari retorika. Ia mendefinisikan orator ideal sebagai "a good man speaking well" (seorang yang baik yang berbicara dengan baik). Bagi Quintilian, karakter yang baik adalah prasyarat bagi persuasi yang efektif dan etis.
Era Modern Perkembangan dan Kritik
Setelah sempat meredup pada Abad Pertengahan (di mana retorika lebih difokuskan pada khotbah) dan Renaissance (yang menghidupkan kembali karya-karya klasik), retorika memasuki babak baru di era modern.
Abad Pencerahan membawa semangat baru. Para ahli retorika seperti George Campbell dalam "The Philosophy of Rhetoric" mulai mengintegrasikan prinsip-prinsip psikologi empiris John Locke untuk memahami bagaimana pikiran audiens bekerja. Retorika tidak lagi sekadar seni, tetapi juga sains tentang pikiran manusia.
Pada abad ke-20, retorika mengalami renaisans yang signifikan. Tokoh-tokoh seperti I.A. Richards dan Kenneth Burke memperluas cakupan retorika melampaui pidato formal.