Mohon tunggu...
Raden Edi Sewandono
Raden Edi Sewandono Mohon Tunggu... -

Pengamat kebijakan publik dan praktisi energi

Selanjutnya

Tutup

Money

Memperbaiki Tata Kelola Pembangunan Infrastruktur

13 Oktober 2017   19:03 Diperbarui: 13 Oktober 2017   19:31 8012
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Dalam  melaksanakan  pembangunan   nasional,   sektor infrastruktur  mempunyai   peranan penting dan strategis mengingat sector infrastruktur menghasilkan produk akhir, baik yang  berupa  sarana  maupun  prasarana  yang berfungsi  mendukung pertumbuhan dan perkembangan berbagai bidang, terutama bidang ekonomi, sosial dan budaya untuk  mewujudkan  masyarakat  adil  dan  makmur   yang  merata  materiil  dan spiritual  berdasarkan  Pancasila  dan  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik Indonesia.   Selain   berperan   mendukung   berbagai   bidang   pembangunan,   sector infrastruktur   berperan   pula   mendukung   tumbuh   dan   berkembangnya   berbagai industri barang dan jasa yang diperlukan dalam penyelenggaraan pembangunan nasional.

Infrastruktur fisik dan sosial adalah dapat didefinisikan sebagai kebutuhan dasar fisik pengorganisasian sistem struktur yang diperlukan untuk jaminan ekonomi sektor publik dan sektor privat  sebagai layanan dan fasilitas yang diperlukan  agar perekonomian dapat berfungsi dengan baik.  Istilah ini umumnya merujuk kepada hal infrastruktur teknis atau fisik yang mendukung jaringan struktur seperti fasilitas antara lain dapat berupa jalan, kereta api, bandara, pelabuhan secara fungsional, infrastruktur selain fasilitasi akan tetapi dapat pula mendukung kelancaran aktivitas ekonomi masyarakat, distribusi aliran produksibarang dan jasa sebagai contoh bahwa pelabuhan dapat melancarkan transportasi laut pengiriman bahan baku sampai ke pabrik kemudian untuk distribusi ke pasar hingga sampai kepada masyarakat. Dengan dibangunnya infrastruktur pelabuhandapat mempermudah distribusi logistic dan mendukung operasi pelayanan industry dan perdagangan nasional.

Selain    berperan    mendukung    berbagai    bidang    pembangunan,    sector infrastruktur berperan pula untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya berbagai industri  barang  dan  jasa   yang  diperlukan  dalam  penyelenggaraan  pekerjaan konstruksi. Pembangunan infrastruktur nasional diharapkan semakin mampu mengembangkan perannya  dalam  pembangunan  nasional  melalui  peningkatan  keandalan  yang didukung   oleh   struktur   usaha   yang   kokoh   dan   mampu   mewujudkan   hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas. Keandalan tersebut tercermin dalam daya saing   dan   kemampuan   menyelenggarakan   pekerjaan   konstruksi   secara   lebih efisien  dan  efektif,  sedangkan  struktur  usaha  yang  kokoh  tercermin  dengan terwujudnya  kemitraan  yang  sinergis  antara  penyedia  jasa,  baik  yang  berskala besar,  menengah  dan  kecil,  maupun  yang  berkualifikasi  umum  spesialis,  dan terampil, serta perlu diwujudkan ketertiban penyelenggaraan jasa konstruksi untuk menjamin  kesetaraan  kedudukan  antara  pengguna  Jasa  dengan  penyedia  jasa dalam hak dan kewajiban.

Partisipasi swasta dalam pengadaan proyek proyek infrastruktur tentunya merupakan  fenomena  yang  cukup  baru  dalam  pelaksanaan  proyek-proyek  di Indonesia, oleh karena itu penguasaan tanah oleh investor menjadi sangat penting karena tanah adalah obyek utama dari pengembangan proyek-proyek itu sehingga akan   timbul   suatu   kecenderungan   bahwa   investor   akan   berupaya untuk menguasai  tanah  seluas-luasnya  dengan  modal  yang  minim,  hal  inilah  yang kemudian memunculkan konsep baru seperti BOT (Build operate Transfer), BOO (Build Operate Own), BROT (Build Rent Operate Transfer) , KSO (Kerjasama operasi/ Joint Operation), usaha patungan , ruislag dan sebagainya, merupakan fenomena yang baru.

Badan Perencanaan pembangunan Nasional (Bappenas) menetapkan tujuh sektor infrastruktur kepada pihak swasta dengan skema pendanaan public private partnership (PPP). Sektor-sektor tersebut ditetapkan berdasarkan Perpres 67/2005, juncto Perpres 13/ 2010, Pasal 4 (1). Ketujuh sektor itu adalah pertama, infrastruktur transportasi, meliputi pelayanan jasa kebandarudaraan, penyediaan dan/ atau pelayanan jasa kepelabuhan, sarana dan prasarana perkeretaapian.

Kedua, infrastruktur jalan meliputi jalan tol dan jembatan tol. Ketiga, infrastruktur pengairan meliputi saluran pembawa air baku. Keempat infrastruktur air minum termasuk bangunan pengambilan air baku, jaringan transmisi, jaringan distribusi, instalasi pengolahan air minum. Kelima, infrastruktur air limbah baik instalasi pengolah air limbah, jaringan pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan yang meliputi pengangkut dan tempat pembuangan.

Keenam, infrastruktur telekomunikasi dan informatika, meliputi jaringan telekomunikasi dan infrastruktur e-government Ketujuh, infrastruktur ketenagalistrikan meliputi pembangkit termasuk pengembangan tenaga listrik yang berasal dari panas bumi, transmisi atau distribusi tenaga listrik. Kedelapan, infrastruktur minyak dan gas bumi, meliputi transmisi dan/atau distribusi minyak dan gas bumi.

Guna memperlancar pola KPS ini, pemerintah telah menerbitkan Perpres 13/2010 tentang Perubahan atas Perpres 67/ 2005 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Isinya secara eksplisit telah menetapkan bahwa pemerintah dapat memberikan dukungan (langsung), termasuk dukungan fiskal, pengadaan tanah, dan sebagian konstruksi kepada proyek kerja sama yang layak secara ekonomi, tetapi kelayakan finansialnya masih marginal, serta dapat menyediakan jaminan pemerintah sebagai dukungan kontijensi untuk mengatasi risiko yang menjadi kewajiban pemerintah. Apalagi dinyatakan bahwa pengadaan tanah harus telah tersedia sebelum proses pengadaan badan usaha dilaksanakan.

Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (Permen PPN) Nomor 4 Tahun 2010, diterbitkan dengan tujuan untuk memberikan pedoman bagi menteri/kepala lembaga/kepala daerah sebagai penanggung jawab proyek kerja sama (PJPK) dalam pelaksanaan proyek kerja sama untuk mendorong partisipasi swasta dalam penyediaan infrastruktur.

Selain itu untuk memberikan pedoman bagi Kementerian/Lembaga (K/L) dalam menyusun panduan pada sektor yang bersangkutan. Ketersediaan infrastruktur yang memadai dan berkualitas merupakan prasyarat bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi dan juga bagi peningkatan produktivitas dan daya saing serta bagi pengurangan kemiskinan.

Proyek kerja sama yang akan ditawarkan harus benar-benar siap, terutama dalam arti dana untuk dukungan pemerintah dan jaminan pemerintah (menyesuaikan kemampuan pemerintah)

Seiring dengan meningkatnya proyek infrastruktur , juga memperbanyak  perusahaan jasa konstruksi yang ingin berpartisipasi dalam menunjang proyek proyek nasional, namun Peningkatan jumlah perusahaan ini ternyata belum diikuti dengan peningkatan kualifikasi dan kinerjanya, yang tercermin pada kenyataan bahwa mutu produk, ketepatan waktu pelaksanaan, dan efisiensi pemanfaatan sumber daya manusia, modal dan teknologi dalam penyelenggaraan jasa konstruksi belum sebagaimana yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh karena persyaratan usaha serta persyaratan keahlian dan keterampilan belum diarahkan untuk mewujudkan keandalan usaha yang profesional.

Dengan tingkat kualifikasi dan kinerja tersebut pada umumnya pangsa pasar pekerjaan konstruksi yang berteknologi tinggi belum sepenuhnya dapat dikuasai oleh usaha jasa konstruksi nasional.

Kesadaran hukum dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi perlu ditingkatkan, termasuk kepatutan para pihak, yakni pengguna jasa dan penyedia jasa, dalam pemenuhan kewajibannya serta pemenuhan terhadap ketentuan yang terkait dengan aspek keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan, agar dapat mewujudkan bangunan yang berkualitas dan mampu berfungsi sebagaimana yang direncanakan. Di sisi lain, kesadaran masyarakat akan manfaat dan arti penting jasa konstruksi masih perlu ditumbuh kembangkan agar mampu mendukung terwujudnya ketertiban dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi secara optimal.

Kondisi jasa konstruksi nasional dewasa ini sebagaimana tercermin dalam uraian tersebut di atas disebabkan oleh dua faktor. Faktor internal, yakni pada umumnya jasa konstruksi nasional masih mempunyai kelemahan dalam manajemen, penguasaan teknologi, dan permodalan, serta keterbatasan tenaga ahli dan tenaga terampil, struktur usaha jasa konstruksi nasional belum tertata secara utuh dan kokoh yang tercermin dalam kenyataan belum terwujudnya kemitraan yang sinergis antar penyedia jasa dalam berbagai klasifikasi dan/atau kualifikasi.

Faktor eksternal, yakni kekurangsetaraan hubungan kerja antara pengguna jasa dan penyedia jasa; belum mantapnya dukungan berbagai sektor secara langsung maupun tidak langsung yang mempengaruhi kinerja dan keandalan jasa konstruksi nasional, antara lain akses kepada permodalan, pengembangan profesi keahlian dan profesi keterampilan, ketersediaan bahan dan komponen bangunan yang standar; belum tertatanya pembinaan jasa konstruksi secara nasional, masih bersifat parsial dan sektoral. Dengan segala keterbatasan dan kelemahan yang dimilikinya, dalam dua dasa warsa terakhir, jasa konstruksi nasional telah menjadi salah satu potensi pembangunan nasional dalam mendukung perluasan lapangan usaha dan kesempatan kerja serta peningkatan penerimaan negara. Dengan demikian potensi jasa konstruksi nasional ini perlu ditumbuhkembangkan agar lebih mampu berperan dalam pembangunan nasional. Sejalan dengan meningkatnya tuntutan masyarakat akan perluasan cakupan, kualitas hasil maupun tertib pembangunan, telah membawa konsekuensi meningkatnya kompleksitas pekerjaan konstruksi, tuntutan efisiensi, tertib penyelenggaraan, dan kualitas hasil pekerjaan konstruksi. Selain itu, tata ekonomi dunia telah mengamanatkan hubungan kerja sama ekonomi internasional yang semakin terbuka dan memberikan peluang yang semakin luas bagi jasa konstruksi nasional.

Dalam rangka memperlancar pola kerja sama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur sebagaimana telah diubah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur (selanjutnya disingkat Perpres Kerjasama).

Pemerintah juga telah membuat kebijakan ekonomi tentang Peraturan Presiden (Perpres) tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan standar pelayanan perizinan berusaha yang efisien, mudah dan terintegrasi tanpa mengabaikan tata kelola pemerintahan yang baik.

Melalui kebijakan ini, pemerintah ingin mempercepat proses penerbitan perizinan berusaha sesuai dengan standar pelayanan, memberikan kepastian waktu dan biaya dalam peroses perizinan dan meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi kementerian/lembaga (K/L) dan pemerintah daerah (pemda). Selain itu, kebijakan ini bertujuan menyelesaikan hambatan dalam proses pelaksanaan serta memanfaatkan teknologi informasi melalui penerapan sistem perizinan terintegrasi (single submission).

Pemenuhan infrastruktur atau fasilitas publik diperlukan investasi yang cukup besar dan pengembalian investasi dalam jangka waktu yang relatif lama. Selain itu, manajemen operasionalnya juga membutuhkan cost yang tinggi. Permasalahan inilah yang menjadi kendala bagi kebanyakan negara-negara berkembang dalam pemenuhan infrastruktur. Namun kendala keterbatasan pembiayaan dari Pemerintah tersebut dapat diselesaikan melalui pendekatan pola kerjasama yang bersifat Public Private Partnership yang membawa manfaat bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama tersebut.

Pendekatan baru untuk dapat mengurangi masalah ini melibatkan peran-peran stakeholder. Public-private partnership merupakan salah satu cara untuk mengkolaborasikan peran-peran tersebut.  Hal tersebut tentunya dapat diupayakan secara komprehensif dengan memobilisasi pendekatan pembiayaan investasi dari swasta yang akan didukung oleh peraturan dan aturan yang ada.

Sekalipun swasta akan memperoleh kesempatan bekerjasama dalam pembangunan infrastruktur yang merupakan utilitas umum perlu dikendalikan oleh Pemerintah, maka rambu-rambu bagi penyelenggaraan kerjasama pun perlu diatur agar tidak merugikan kedua belah pihak, serta tidak mengurangi hak-hak penguasaan Pemerintah dalam penyelenggaraan kepentingan bagi harkat hidup orang banyak.

Public-private partnership dapat digambarkan pada sebuah spektrum dan kemungkinan hubungan-hubungan antara public dan private actors untuk bekerjasama dalam pembangunan. Keuntungan yang dapat diperoleh pada hubungan ini adalah inovasi, kemudahan keuangan, kemampuan pada ilmu teknologi, kemampuan pada pengaturan efisiensi, semangat entrepreneurship , yang dikombinasikan dengan tanggung jawab sosial, kepedulian pada lingkungan, dan pengetahuan dan budaya lokal.

Menurut Pernyataan Standar Akuntan Keuangan (selanjutnya disebut PSAK) No. 39 tentang Akuntansi Kerjasama Operasi menyatakan bahwa Kerjasama Operasi adalah "perjanjian antara dua pihak atau lebih dimana masing- masing sepakat untuk melakukan usaha bersama dengan menggunakan aset dan atau hak usaha yang dimiliki dan secara bersama-sama menanggung risiko usaha tersebut"

Menurut Pasal 1 angka 6 Perpres Kerjasama, Perjanjian kerjasama adalah kesepakatan tertulis untuk Penyediaan Infrastruktur antara Menteri/ Kepala Lembaga/Kepala Daerah dengan Badan Usaha yang ditetapkan melalui pelelangan umum.

Perjanjian kerjasama dibuat antara investor dengan pemilik aset untuk penyediaan dan pemenuhan Infrastruktur, yang berarti termasuk kebutuhan mendesak untuk mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, serta untuk meningkatkan daya saing Indonesia dalam pergaulan global, karenanya investor yang mengikuti tender haruslah yang benar-benar memenuhi persyaratan dan klasifikasi sebagai perusahaan penyedia infrastruktur tersebut.

Pengadaan infrastruktur tersebut tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh pemilik aset dalam hal ini pemerintah, sehingga mengadakan kerjasama operasional dengan badan hukum swasta yang dengan modalnya bersedia untuk mewujudkan infrastruktur tersebut dalam bentuk kerjasama operasional.

Dengan melihat fakta keterbatasan modal dan aset, maka peran swasta dalam pembangunan infrastruktur sangat dibutuhkan sehingga pendanaan atau investasi untuk pembangunan infrastruktur dapat terpenuhi. Bentuk kerjasama ini biasa dikenal dengan istilah kerjasama pemerintah swasta atau konsesi.

Pada model outsourcing, manajemen pengelolaan diambil dari pihak luar dimana pihak luar tersebut bisa berasal dari pihak swasta, sementara untuk konsesi pengelolaan diserahkan kepada swasta tetapi kepemilikan aset masih di tangan pemerintah dan pengelolaannya akan dikembalikan kepada pemerintah setelah seluruh jangka waktu yang diperjanjikan selesai.

Bentuk kerjasama konsesi dilakukan untuk sektor-sektor tertentu yang dengan alasan politik atau hukum dianggap tidak layak untuk dilakukan privatisasi. Konsesi dapat didefinisikan sebagai bentuk pemberian hak kepada pihak swasta untuk melakukan pembangunan atau pengelolaan pada sektor tertentu (biasanya di sektor infrastruktur), dimana pihak swasta menerima penghasilan dari hasil pengelolaan tersebut, namun hak milik dari lahan/tanah tersebut tetap di tangan pemerintah.

Bentuk konsesi bisanya muncul pada situasi dimana kompetisi dalam pasar tidak berkembang dengan baik, karena adanya monopoli alamiah atau kondisi struktur yang kurang mendukung. Dengan adanya konsesi diharapkan peluang terciptanya persaingan di pasar dapat terbuka sehingga memberikan keuntungan bagi konsumen.

Dalam penyelenggaraan infrastruktur dengan menggunakan metode konsesi terdapat beberapa keuntungan yang dapat diperoleh, yaitu:

  1. Tercukupinya kebutuhan pendanaan yang berkelanjutan yang menjadi masalah utama pemerintah dalam membangun infrastruktur;
  2. Meningkatkan kuantitas, kualitas, dan efisiensi pelayanan melalui persaingan yang sehat;
  3. Meningkatkan kualitas pengelolaan dan pemeliharaan infrastruktur;
  4. Mendorong prinsip "pakai-bayar", dan dalam hal tertentu dipertimbangkan kemampuan membayar dari si pemakai.

Dengan melihat keuntungan yang diperoleh tersebut, maka pemerintah perlu menciptakan kondisi yang kondusif bagi pihak swasta sebagai investor, agar mereka bersedia untuk bekerja sama dengan  pemerintah dalam membangun infrastruktur.              
Langkah awal yang harus dilakukan dalam merancang konsesi adalah menentukan struktur, hak dan kewajiban para pihak. Satu hal yang cukup penting dalam proses ini adalah memastikan terdapat persaingan di dalamnya, artinya menciptakan struktur pasar yang berpihak pada persaingan.

Komponen lain dari perancangan adalah jangka waktu perjanjian konsesi. Terdapat beberapa konsekuensi dari penentuan jangka waktu perjanjian, perjanjian dengan jangka waktu yang lama akan menciptakan insentif yang layak bagi pihak swasta untuk melakukan investasi termasuk investasi dalam perawatan pada saat perjanjian konsesi tersebut berlangsung. Sementara perjanjian dengan jangka waktu yang pendek akan semakin memperburuk masalah terkait dengan kurangnya insentif bagi pihak swasta untuk melakukan investasi saat kerjasama tersebut akan berakhir, itu sebabnya pihak swasta biasanya menaikkan biaya penawaran. Sisi positif dari kontrak jangka pendek pada KPS adalah dimungkinkannya tender yang kompetitif, namun konsesi jangka pendek dapat juga mengindikasikan bahwa terdapat ketidakpastian pada masa depan pasar.

Proses pemilihan calon pemegang konsesi merupakan tahapan paling penting dimana dalam tahap inilah seharusnya persaingan itu terjadi. Proses lelang/tender merupakan cara paling efektif untuk menentukan pemegang konsesi, biasanya diawali dengan melakukan pengumuman yang tersebar luas ke seluruh kalangan atau melalui surat kabar nasional. Permasalahan yang sering muncul adalah ketika pihak incumbent memiliki keuntungan dengan akses informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang baru. Masalah ini dapat diatasi melalui panitia yang menyediakan informasi yang baik dan berimbang kepada seluruh penawar. Metode alternatif yang dapat digunakan selain menggunakan metode lelang adalah metode negosiasi dan beauty contests.

Selain itu, terdapat pula resiko praktek monopoli dari pemegang konsesi yang dapat dicegah dengan langkah-langkah sebagai berikut :

  1. Struktur kontrak yang memungkinkan terciptanya persaingan dengan menyediakan banyak alternatif penyedia layanan/jasa sehingga dapat mengurangi posisi tawar dari pemegang konsesi;
  2. Menghindari penggunaan kriteria tender yang dapat diubah, seperti penetapan tarif atau subjek yang dapat dimanipulasi seperti technical proposal;
  3. Adanya performance bonds dalam kontrak sehingga pemegang konsesi yang gagal menjalankan kewajibannya akan memberikan ganti rugi;
  4. Hak dari pemerintah sebagai pemberi konsesi untuk mengambil alih operasional dari pemegang konsesi apabila tidak dapat menjalankan pelayanannya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dalam kontrak; dan
  5. Membebankan pada pemegang konsesi kewajiban untuk meneruskan menyediakan pelayanan sampai pemegang konsesi yang baru telah ditunjuk.

Dalam melaksanakan pengelolaan pembangunan juga sangat diperlukan pengawasan pembangunan dengan memperhatikan hal hal berikut :

A. Asas Pembangunan

Pelaksanaan pembangunan infrastruktur pengawasan pembangunan berdasarkan azas dan prinsip:

1. Kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan serta keserasian/keselarasan infrastruktur pengawasan dengan lingkungannya;

2. Hemat,  tidak  berlebihan,  efektif  dan  efisien,  serta   sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan teknis yang disyaratkan;

3. Terarah dan terkendali sesuai rencana, program/satuan kerja, serta   fungsi   pengawasan SDKP;

4. Semaksimal  mungkin  menggunakan  hasil  produksi   dalam negeri   dengan memperhatikan kemampuan/potensi nasional/lokal.

B. Persyaratan Administratif

Setiap infrastruktur pengawasan harus memenuhi  persyaratan administratif  baik  pada  tahap  pembangunan  maupun  pada tahap pemanfaatannya. Persyaratan   administratif  infrastruktur  pengawasan meliputi pemenuhan persyaratan:

1. Dokumen Pembiayaan

Setiap kegiatan pembangunan infrastruktur pengawasan harus disertai/memiliki bukti tersedianya anggaran yang diperuntukkan  untuk  pembiayaan  kegiatan  tersebut  yang disahkan oleh Pejabat yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan   yang  berlaku  yang  dapat  berupa Daftar  Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) atau dokumen anggaran dari sumber keunagan lainnya , termasuk surat penunjukan/penetapan Kuasa Pengguna Anggaran/Kepala Satuan Kerja. Dalam dokumen  pembiayaan pembangunan infrastruktur pengawasan sudah termasuk:

a.    Biaya perencanaan teknis;

b.    Pelaksanaan konstruksi fisik;

c.    Biaya manajemen konstruksi/pengawasan konstruksi;

d.    Biaya pengelolaan kegiatan.

2. Status Hak Atas Tanah

Setiap infrastruktur pengawasan harus memiliki  kejelasan tentang status hak atas tanah di lokasi  tempat bangunan pengawasan berdiri (clean and clear). Kejelasan status atas tanah ini dapat berupa hak milik (untuk pengadaan lahan) atau hak guna bangunan. Status hak atas tanah ini dapat berupa sertifikat atau bukti kepemilikan/hak atas tanah Instansi/lembaga /Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Dalam  hal  tanah  yang  status  haknya  berupa  hak  guna usaha  dan/atau  kepemilikannya  dikuasai  sementara  oleh pihak lain, harus disertai izin pemanfaatan (pinjam pakai) yang dinyatakan dalam perjanjian  tertulis antara pemegang hak atas tanah atau   pemilik tanah dengan pemilik bangunan gedung, sebelum   mendirikan   infrastruktur   pengawasan di   atas   tanah tersebut.

3. Status Kepemilikan

Status kepemilikan lahan/bangunan merupakan surat bukti kepemilikan lahan/bangunan gedung sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam hal terdapat pengalihan hak kepemilikan lahan/ bangunan  gedung,  pemilik  yang  baru  wajib memenuhi ketentuan sesuai peraturan perundang-undangan.

4. Perizinan

Setiap infrastruktur pengawasan berupa bangunan, harus dilengkapi dengan dokumen perizinan yang berupa: Izin Mendirikan Bangunan Gedung (IMB), Sertifikat Laik  Fungsi  / Operasi (SLF / SLO) atau keterangan kelaikan fungsi sejenis bagi daerah yang belum melakukan penyesuaian dan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) (untuk masterplan).

5. Dokumen Perencanaan

Setiap infrastruktur pengawasan harus memiliki  dokumen perencanaan,  yang  dihasilkan  dari   proses   perencanaan teknis, baik yang dihasilkan oleh Penyedia Jasa Perencana Konstruksi, Tim  Swakelola Perencanaan, atau yang berupa Disain Prototipe dari bangunan pengawasan.

6. Dokumen Pembangunan

Setiap infrastruktur pengawasan harus dilengkapi dengan dokumen   pembangunan yang terdiri atas:  Dokumen Perencanaan, Izin  Mendirikan  Bangunan (IMB), Dokumen Pelelangan, Dokumen Kontrak Kerja Konstruksi, dan As Built Drawings,  Surat Penjaminan atas Kegagalan Bangunan (dari penyedia jasa konstruksi), dan Sertifikat Laik Fungsi / Operasi (SLF / SLO) sesuai ketentuan.

Dengan  tata kelola infrastuktur yang baik diikuti dengan manajemen resiko dan pengawasan , maka akan dapat meningkatkan kualitas pembangunan infrastruktur , sehingga dapat dicapai pertumbuhan ekonomi nasional yang adil dan merata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun