Mohon tunggu...
Rachminawati
Rachminawati Mohon Tunggu... Dosen

Nama panggilannya Upi, seorang Dosen dan Peneliti di Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Indonesia sejak tahun 2003. Selain aktif menjalankan tugasnya sebagai dosen dan peneliti, dikenal juga sebagai praktisi Pendidikan Berbasis Fitrah sebuah konsep pendidikan otentik Islam yang mengembalikan lagi Pendidikan pada fitrah manusia berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Ia terapkan langsung pada kedua permata hatinya di rumah. Hal inilah yang mendorong Ia dan keluarga kecilnya beserta sahabat terdekat mendirikan komunitas Garut Zero Waste (GZW) sebagai wadah berkhidmat pada Bumi dan lingkungannya yang kini sudah banyak kerusakan karena ulah manusia. “Pilah sampah dari rumah untuk Garut bebas sampah”, sebagaimana slogan GZW tersebut, Ia berkeyakinan, dari rumahlah tempat solusi segala kebaikan, maka mulailah diri kita ini bisa hebat dan bermanfaat sejak dari rumah. Sehebat atau sejauh apapun kita pergi, rumahlah tempat kita pulang. Aktif juga di Majelis PAUD DASMEN Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Jawa Barat sejak 2023, Ia berkomitmen untuk bisa lebih meluaskan khidmahnya di bidang Pendidikan Masyarakat yang menekankan pada konsep ketahanan keluarga dengan penerapan Pendidikan Berbasis Fitrah. Baginya, menjadi pendidik tidak cukup hanya berada di ruang-ruang kampus dengan diskusi elite keilmuan tertentu, tetapi bagaimana Pendidikan itu mampu mencerahkan dan membuat banyak perubahan baik secara langsung di Masyarakat. Untuk bersilaturahmibisa menghubungi alamat email berikut: rachminawati@gmail.com atau rachminawati@unpad.ac.id.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Catatan Seorang Ibu untuk Sekolah Rakyat

14 Maret 2025   10:49 Diperbarui: 14 Maret 2025   10:49 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diambil dari suara.com (liks.suara.com)

Catatan ini dibuat dengan satu kegelisahan: mengapa harus ada Sekolah Rakyat? Mengapa anak-anak dari keluarga miskin perlu dipisahkan dalam sekolah khusus, sementara negara seharusnya menjamin semua anak mendapatkan pendidikan yang sama baiknya, di sekolah yang sama, tanpa memandang status sosial, ekonomi atau lainnya?

Apresiasi yang tinggi tentu harus disampaikan pada upaya pemerintah dalam meningkatkan akses Pendidikan dengan pendirian Sekolah Rakyat. Tetapi, kami mempertanyakan mengapa kebijakan Sekolah Rakyat yang dipilih. Secara historis, terminology Sekolah Rakyat digunakan oleh kaum kolonial untuk kaum proletar (kaum miskin) yang berkonotasi perendahan martabat; yang pasangannya adalah kaum borjuis atau elit. Meskipun, bisa saja pada zamannya dulu Sekolah Rakyat ini diartikan sesungguhnya sebagai sekolah untuk rakyat. Sepertinya dengan sudah hadirnya sekolah negeri yang diperuntukan bagi semua anak bangsa melalui program Pendidikan wajib 9 tahun, maka tidak salah jika hadirnya terminologi Sekolah Rakyat menjadi kurang elok didengarnya. Karenanya, Jika ada terminologi lain yang lebih netral itu lebih baik.

Berikut beberapa poin yang menjadi catatan atas rencana pendirian Sekolah Rakyat yang diinisiasi langsung oleh Presiden:

1. Pendidikan Harus Menyatukan, Bukan Memisahkan

Pendidikan adalah hak setiap warga negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UUD 1945 dan berbagai konvensi HAM internasional di mana Indonesia telah menjadi negara pihak. Di banyak negara maju, seperti Belanda dan Finlandia, pendidikan gratis tidak hanya diberikan untuk kelompok tertentu, tetapi untuk semua anak. Karena mereka paham bahwa sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi juga tempat anak-anak dari berbagai latar belakang saling mengenal, berinteraksi, dan tumbuh bersama. Sekolah Rakyat justru mengarah pada segregasi sosial. Ada Label Anak Miskin di sana. Anak-anak dari keluarga miskin dipisahkan ke sekolah yang berbeda, dengan label khusus "Sekolah Rakyat." Apakah ini bukan bentuk diskriminasi terselubung? Apakah anak-anak ini tidak berhak duduk di bangku yang sama dengan anak-anak lainnya, di sekolah negeri yang layak?

2. Anggaran Fantastis yang Tidak Menyelesaikan Masalah Utama

Pemerintah telah menganggarkan Rp 100 miliar untuk operasional satu Sekolah Rakyat, dengan target 50 sekolah dibangun pada tahun 2025. Artinya, ada Rp 5 triliun dana negara yang akan digunakan untuk menciptakan sekolah-sekolah baru yang hanya diperuntukkan bagi masyarakat miskin. Mengalokasikan Rp 100 miliar untuk satu sekolah adalah jumlah yang sangat besar. Apalagi di saat pemerintah melakukan banyak efisiensi dana. Ada kekhawatiran jika proyek sebesar ini malah jadi lahan baru korupsi para elit. Sementara itu, masih banyak sekolah negeri yang bangunannya rusak, kekurangan ruang kelas, guru honorer yang digaji rendah, kekurangan berbagai fasilitas yang mendukung seperti laboratorium yang minim, perpustakaan yang tidak memadai, bahkan toilet sekolah yang tak layak pakai. Bukankah lebih masuk akal jika dana ini digunakan untuk memperbaiki dan merevitalisasi sekolah-sekolah negeri? Agar semua anak, baik yang miskin maupun tidak, bisa mendapatkan pendidikan berkualitas tanpa perlu dipisahkan.

3. Sekolah Rakyat Tumpang Tindih dengan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM)

Di Indonesia, kita sudah memiliki Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang selama ini berperan dalam memberikan pendidikan alternatif termasuk bagi masyarakat yang putus sekolah yang rata-rata karena faktor ekonomi. PKBM sudah terbukti efektif dalam memberikan pendidikan bagi kelompok marginal. Mengapa pemerintah tidak memperkuat PKBM yang sudah ada, daripada membangun sistem baru yang kemungkinan besar tumpang tindih?

4. Revitalisasi Semua Sekolah Negeri menjadi Berkualitas adalah Solusi

Jika pemerintah benar-benar ingin memperbaiki akses pendidikan bagi masyarakat miskin, solusinya bukan dengan membangun Sekolah Rakyat, tetapi dengan memperbaiki sekolah negeri yang sudah ada. Dengan anggaran yang sama, kita bisa membuat sekolah negeri di seluruh pelosok negeri menjadi sekolah yang berkualitas dengan standar pengajaran, pengelolaan, dan fasilitas yang sama. Alokasi untuk Sekolah Rakyat dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas guru dan kesejahteraannya, memperbaiki fasilitas sekolah negeri yang ruksak di berbagai daerah di Nusantara, memberikan beasiswa dan bantuan pendidikan langsung kepada siswa yang membutuhkan. Dengan demikian akan memperkuat program pendidikan inklusif yang selama ini digaungkan pemerintah. Program Pendidikan Inklusif agar semua anak bisa belajar dalam lingkungan yang sama tanpa stigma sosial,  ekonomi, atau kondisi lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun