Mohon tunggu...
Rachmat Hidayat
Rachmat Hidayat Mohon Tunggu... Sejarawan - Budayawan Betawi

a father, batavia, IVLP Alumni 2016, K1C94111, rachmatkmg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seperti di DC, Inilah Impian Anies dengan Becak

18 Januari 2018   09:17 Diperbarui: 18 Januari 2018   11:57 1137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://sujathabagal.com

Meski sama-sama beroda tiga, namun becak dan bajaj berbeda. Bajaj dianggap manusiawi karena digerakkan dengan mesin. Sedangkan becak, dianggap kurang manusiawi lantaran dikayuh oleh kaki, betis, dan paha. Kebayang gak, bila becak melaju di jalan menanjak, dengan peluh keringat membasahi muka dan badannya, karena tak kuat mengayuh, Si abang becak mendorong becaknya, sedangkan Si penumpang, alih alih turun membantu meringankan beban berat Si abang becak, justru hanya duduk manis, menikmati 'kesengsaraan' Si abang becak.  Inilah mungkin yang dimaksud tidak memanusiakan manusia atau kurang manusiawi.

Wacana Gubernur Anies Baswedan untuk menghidupkan lagi becak di Ibukota mendapat tanggapan pro dan kontra dan warga kota. Yang kontra beranggapan bahwa becak, adalah salah satu yang menjadi sumber ketidak tertiban berlalu lintas. Bukankah saat ini tanpa becak pun, gang-gang dan jalan-jalan kecil di pelosok Jakarta masih semrawut. Semrawut dengan mobil milik warga yang parkir di pingir jalan lantaran tak punya lahan parkir. Semrawut dengan kaki lima yang buka lapak dan berjualan di pinggir jalan yang sempit. Lha, gimana kalau ada becak, bisa tambah semrawut gang-gang dan jalan-jalan kecil di perkampungan Jakarta.

Gubernur Anies dalam argumennya menuturkan bahwa becak hanya akan ada di perumahan atau perkampungan, dan tidak boleh masuk ke jalan protokol. Anies mencontohkan, warga yang membuka warung di rumah membutuhkan becak untuk membawa barang belanjaannya yang dibeli dari pasar. Selama ini disukai atau tidak becak telah hadir ditengah-tengah masyarakat. Di kawasan Jakarta Utara seperti di Warakas misalnya, becak digunakan untuk menarik penumpang. Di sekitar tempat pelelangan ikan di Jakarta, becak digunakan untuk mengangkut hasil tangkapan nelayan. Ini adalah kondisi becak yang terjadi saat ini. Sudahkah becak di Jakarta dimanusiawikan? Inilah yang akan menjadi impian dan tantangan bagi Anies, menjadikan becak lebih manusiawi di Jakarta.

Namun, sebelum impian itu menjadi nyata, perlu upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk menerapkan regulasi perbecakan. Dengan kajian yang mendalam melibatkan seluruh komponen masyarakat, pasti akan terjawab keraguan-keraguan masyarakat tentang dampak negatif dari hadirnya becak di Jakarta. Bila di cerna dengan pikiran jernih, wacana dan ide yang dilontarkan oleh Gubernur Anies cukup menarik. Kenapa becak tidak dilegalkan saja? Ditata dan diatur dikawasan mana saja yang boleh ada becak. Ada batasan maksimal, berapa becak yang boleh beroperasi di kawasan itu. Intinya adalah pengaturan!  

Nah, selain sebagai sarana transportasi di perkampungan, yang tak kalah menariknya adalah bagaimana menjadikan becak sebagai salah satu daya tarik wisatawan. Sama seperti Monument Washington, di Washington DC, Amerika Serikat, dengan National Mall, yang terbentang dihadapannya, Monas pun mempunyai tata ruang yang hampir sama. Kebayang gak, selama ini dari parkiran mobil/motor menuju ke Tugu Monas, kita harus berjalan kaki, meskipun telah tersedia mobil wara wiri gratis. Nah, bila di sekitaran monas disiapkan becak, bisa menjadi daya tarik wisatawan. Syaratnya tentu ada pada penampilan dan modifikasi becak itu sendiri agar sesuai dengan pangsa pasar wisata. Tampilan becak bisa ditiru dinegara-negara maju.

Sebagai bahan perbandingan, kita bisa menoleh kehadiran becak di Negara-negara yang lebih maju dari Jakarta. Di Washington DC, Amerika Serikat misalnya, becak telah ada. Saat saya berkunjung ke DC, saya menemukan becak yang disewakan. Becak disana sungguh menarik, eye-catching. Tampilan becaknya gakkumel. Abang becaknya pun bajunya rapih dan bersih. Berbeda dengan di Indonesia, becak di DC posisi pengayuh atau abang becak ada di muka, sedangkan penumpangnya ada di belakang. Permasalahannya adalah, bagaimana mengatur kebaradaan becak agar tertata dan terlihat rapih dan teratur. Di DC, kebaradaan becak hanya ada di sekitar objek-objek wisata yang banyak terserak di sekitar National Mall,  yang mana di sekitarnya terdapat spot-spot menarik yang menjadi daya tarik destinasi wisatawan mancanegara, seperti Monument Washington, Gedung Putih, dan musem-museum menarik lainnya.

Bila di DC, becak wisata bisa diterapkan, lantas apa yang salah dengan ide dan wacana Gubernur Anies untuk menghidupkan becak? Bila saja becak wisata dapat beroperasi di sekitaran Monas, tentu akan menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan yang hendak berkeliling monas. Selain ke Monas, dengan becak wisatawan dapat menyusuri jalan di sekitaran Medan Merdeka, mengunjungi spot-spot menarik yang ada di sana. Berkunjung ke beberapa museum yang ada di sekitarnya. Saya percaya, bila ini di terapkan secara professional niscaya akan menjadi pilihan wisata yang menarik. Jadi, jangan anggap becak sebagai suatu aib bagi transportasi Jakarta, tinggal di poles sedikit niscaya profesi penarik becak akan termanusiakan. Dan, satu lagi, impian Anies menjadikan becak di Jakarta sekelas becak di DC, nyata adanya.

Referensi:

Sumber 1, 2.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun