Mohon tunggu...
HANDIKO
HANDIKO Mohon Tunggu... Dosen dan Praktisi Hukum Pajak

Auditor, Investigator , Akademisi bidang :akuntansi, perpajakan dan hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hukum Pajak 8 : Pajak bagi pelaku medsos vs sulitnya lapangan pekerjaan

24 Juli 2025   16:15 Diperbarui: 24 Juli 2025   16:15 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di pertengahan tahun 2025 tepatnya 14 Juli 2025 Kementrian keuangan mengesahkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025, yang secara khusus mengatur tentang pajak e-commerce. Melalui regulasi ini, pedagang yang berjualan di marketplace seperti Tokopedia, Shopee, TikTok Shop, Lazada, dan lainnya kini dikenakan pemotongan PPh Pasal 22. Aturan ini termuat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 Tentang Penunjukan Pihak Lain Sebagai Pemungut, Penyetor, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut oleh Pihak Lain atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Intinya aturan terbaru tersebut menunjuk penyelenggara atau pengusaha e-commerce untuk memungut pajak UMKM kepada padagang toko online UMKN di e-commerce nya masing-masing, dimana para pedangang online di e-commerce harus membayar pajak UMKM 0,5% kepada Negara. Hal ini sebenarnya bukan hal baru, karena pajak UMKN telah berlaku sejak lama hanya saja dengan system self assessment yaitu membayar dan melaporkan pajaknya sendiri oleh pelaku UMKM, bedanya adalah peraturan terbaru ini dipungut didepan langsung.  Dalam PMK Nomor 37 Tahun 2025, marketplace seperti Tokopedia, Shopee, TikTok Shop, dan Bukalapak diwajibkan memungut PPh 22 final sebesar 0,5% dari pedagang dalam negeri dengan omzet antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar per tahun.

Kemenkeu tidak berhenti, setelah toko online media sosial jadi target pajak kemenkeu berikutnya,  Kemenkeu berencana menyisir potensi penerimaan pajak dari medsos dan data digital pada tahun 2026. Pihak-pihak yang menerima endorse akan menjadi objek yang tak luput dari pengawasan para petugas pajak (fiskus). Sedangkan  endorsement saat ini jug sedang dilakukan  pengawasan, hal ini menjadi masuk akal karena nilai transaksinya yang kemungkinan bernilai besar. Jika kita perhatikan beberapa tahun terakhir, media sosial telah berubah dari sekadar tempat berbagi konten menjadi wadah berbisnis dan mencari penghasilan. Influencer dengan jutaan pengikut bisa mengantongi miliaran rupiah per tahun dari endorsement, afiliasi, hingga jualan langsung. Namun, tidak semua dari penghasilan itu tercatat dan dilaporkan sebagai objek pajak. Di sinilah Kemenkeu melihat potensi besar yang selama ini belum dimanfaatkan. JIka saja pada e-commerce yang merupakan platform digital menjadi "pemungut pajak" atas transaksi yang berlangsung di dalamnya. Ke depannya, bukan tidak mungkin platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube juga akan ditunjuk sebagai pemungut pajak dari konten kreator atau pelaku usaha yang mendapatkan penghasilan melalui platform mereka.

Pemerintah harus berhati-hati dalam mengenakan pajak kepada pelaku medsos, tentu para pelaku medsos banyak yang berbentuk badan usaha yang mungkin saja kewajiban perpajakan tidak bermasalah. Banyak juga orang pribadi yang mempunya tim yang cukup banyak juga kewajiban perpajakannya teratur dan patuh. Akan tetapi pelaku medsos perorangan yang masuk kategori UMKM atau mesih merintis yang menggantungkan penghasilan dari medsos bisa ketakukan karena tidak paham akan pajak. Dimana berita yang viral Pemerintah melalui Kementrian Keuangan akan mengejar pajak bagi pelaku medsos, baik itu youtuber, tiktoker, endorsement, afiliator, influencer dan lainnya dimana profesi ini banyak digemari generasi muda saat ini. Profesi di medsos ini apapun namanya menjadi lapangan kerja baru bagi banyak orang termasuk generasi muda dalam mencari penghasilan. Dalam hal ini lapangan kerja di Indonesia yang semakin sulit, membuat profesi di medsos menjadi alternative profesi baru atau tempat mencari pengahasilan yang menjanjikan.

Saat ini tingkat pengangguran di Indonesia masih menjadi tantangan serius dalam pembangunan ekonomi dan sosial. Di tengah pertumbuhan jumlah angkatan kerja yang terus meningkat setiap tahunnya, ketersediaan lapangan kerja sering kali belum mampu mengimbanginya. Ketimpangan ini menciptakan tekanan, terutama di kalangan lulusan muda dan pekerja sektor informal yang rentan kehilangan penghasilan. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pencari kerja dan lowongan kerja yang terdaftar di Indonesia memang masih belum seimbang.Seiring tingginya angka pengangguran, pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di berbagai sektor industri. Merespons hal ini, pemerintah pusat maupun daerah menggelar acara Job Fair alias bursa kerja.kita ambil contoh peminat Job Fair di mana-mana membludak. Salah satu yang viral di media sosial Job Fair yang digelar pada 27 Mei di Cikarang, Kabupaten Bekasi. Job Fair tersebut dibanjiri puluhan ribu peserta hingga berdesakan, bahkan ada yang sampai ricuh. Hal ini menunjukkan minat kerja masig sangat tinggi, bukan seperti dituduhkan karena malas dan tidak kompeten. Keinginan untuk bekerja di Indonesia masih sangat tinggi, namun kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sangat kecil. Pada 2024, terdapat 909 ribu pencari kerja terdaftar, sedangkan lowongan kerja yang terdaftar hanya 630 ribu. Hal ini berarti terdapat sekitar 279 ribu pencari kerja yang belum terserap. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat jumlah PHK sejak Januari-Oktober 2024 sebanyak 59.796 pekerja. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) tingkat pengangguran terbuka per bulan Februari 2025 di Indonesia adalah sebesar 7,28 juta orang. Dengan sekitar 285 juta penduduk, Indonesia adalah negara terpadat keempat di dunia (setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat). Selain itu, Indonesia masih memiliki populasi muda dengan usia median sekitar 30 tahun, sementara 75-80 persen penduduknya berusia di bawah 50 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki tenaga kerja yang sangat besar; yang akan terus bertambah di masa mendatang dimana populasi Indonesia masih terus berkembang,  oleh karena itu sangat penting agar tersedia cukup lapangan kerja bagi beberapa juta pencari kerja yang masuk angkatan kerja setiap tahunnya, pengangguran kaum muda atau kalangan lulusan baru masih sangat membutuhkan perhatian.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun