Di pantai Bali atau Batam, alih-alih pasir keemasan dan ombak jernih, sering kali kita melihat botol, kantong plastik, dan sampah mengapung bersama ombak. Indonesia, negeri kepulauan yang kaya akan keindahan laut dan keanekaragaman hayati, saat ini menempati peringkat kedua dunia dalam penyumbang sampah plastik ke laut, setelah Tiongkok https://www.sea-circular.org/publications/sea-circular-country-profile-indonesia-2.
Sementara itu, Swedia telah menjadikan sampah sebagai sumber daya. Lebih dari 99% sampah rumah tangga diolah kembali atau dijadikan energi, menjadikan negara ini panutan dunia dalam pengelolaan sampahhttps://www.globalcitizen.org/en/content/sweden-garbage-waste-recycling-energy.
Lalu muncul pertanyaan: Mungkinkah Indonesia menerapkan model Swedia untuk mengatasi krisis plastiknya?
Apa yang Membuat Swedia Begitu Sukses?
Revolusi daur ulang di Swedia dibangun dari beberapa pilar utama:
Aturan pemisahan sampah yang ketat dari rumah tangga
Stasiun pemilahan sampah yang tersedia di setiap lingkungan
Investasi besar dalam pembangkit listrik dari sampah (waste-to-energy)
Pendidikan lingkungan sejak usia dini
Insentif bagi industri yang mengurangi penggunaan plastik dan kemasan
Bahkan kini, Swedia mengimpor sampah dari negara lain untuk menjaga operasi fasilitas pengolahan energinya tetap berjalan https://earth.org/sweden-waste-to-energy.
Mengapa Indonesia Masih Tertinggal?
Meskipun memiliki kekayaan laut dan sumber daya yang besar, realita di lapangan masih memprihatinkan:
Produksi sampah plastik lebih dari 3,9 juta ton per tahun
Lebih dari 1 juta ton bocor ke laut setiap tahunnya
Tingkat daur ulang masih rendah, hanya sekitar 10--15%
Infrastruktur pengumpulan dan pemilahan sampah masih lemah
Kesadaran masyarakat terhadap isu ini belum merata
Bisa kah Kita Menyalin Model Swedia?
Tidak bisa disalin langsung, tapi prinsip dasarnya bisa diadaptasi sesuai dengan kondisi lokal di Indonesia. Beberapa langkah yang dapat diambil:
Membangun pusat pengumpulan dan pemilahan sampah skala kecil di pulau-pulau dan kota pesisir
Mengintegrasikan pendidikan lingkungan ke dalam kurikulum sekolah
Mendukung UMKM yang mengubah limbah plastik menjadi produk kerajinan atau bahan bangunan
Mengembangkan pembangkit energi dari sampah skala mikro
Mendorong pengembangan plastik ramah lingkungan dari singkong, rumput laut, atau serat pisang
Mewajibkan industri untuk bertanggung jawab atas kemasan yang mereka hasilkan (EPR)
Langkah-langkah ini tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga membuka lapangan kerja baru, mendukung pariwisata berkelanjutan, dan meningkatkan kesehatan masyarakat di wilayah pesisir.
Penutup: Semangat Swedia, Solusi Indonesia
Swedia membuktikan bahwa perubahan berkelanjutan bisa terjadi jika ada sinergi antara kebijakan, pendidikan, dan budaya masyarakat. Indonesia bisa dan harus menemukan jalannya sendiri. Solusi hijau versi Indonesia perlu dimulai dari komunitas, sekolah, dan desa-desa.
Laut tidak menunggu. Alam tidak menunggu.
Saatnya kita juga tidak menunda.
Tentang Penulis:
Rachid Libourki adalah mahasiswa asal Maroko yang kini menempuh pendidikan di Universitas Negeri Malang. Ia memiliki latar belakang dalam energi terbarukan dan tertarik pada isu lingkungan, keberlanjutan, serta edukasi publik tentang teknologi bersih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI