Mohon tunggu...
RACHID LIBOURKI
RACHID LIBOURKI Mohon Tunggu... Diploma Energi Terbarukan ,S1 Matematika .

S1 Matematika, dengan latar belakang akademik sebelumnya di bidang efisiensi energi bangunan dan teknologi energi terbarukan. Saya telah mengikuti pelatihan praktis dalam sistem energi surya dan angin. Minat saya berfokus pada keberlanjutan, inovasi, dan penerapan pendekatan matematis dalam solusi energi masa kini.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Apakah Model Daur Ulang Sampah di Swedia Bisa Menjadi Solusi Krisis Plastik di Indonesia ?

29 Juni 2025   12:29 Diperbarui: 29 Juni 2025   12:29 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Swedish Plastic Recycling, Fasilitas Site Zero, melalui svenskplastatervinning.se 

Di pantai Bali atau Batam, alih-alih pasir keemasan dan ombak jernih, sering kali kita melihat botol, kantong plastik, dan sampah mengapung bersama ombak. Indonesia, negeri kepulauan yang kaya akan keindahan laut dan keanekaragaman hayati, saat ini menempati peringkat kedua dunia dalam penyumbang sampah plastik ke laut, setelah Tiongkok https://www.sea-circular.org/publications/sea-circular-country-profile-indonesia-2.

Sementara itu, Swedia telah menjadikan sampah sebagai sumber daya. Lebih dari 99% sampah rumah tangga diolah kembali atau dijadikan energi, menjadikan negara ini panutan dunia dalam pengelolaan sampahhttps://www.globalcitizen.org/en/content/sweden-garbage-waste-recycling-energy.

Lalu muncul pertanyaan: Mungkinkah Indonesia menerapkan model Swedia untuk mengatasi krisis plastiknya?

Apa yang Membuat Swedia Begitu Sukses?

Revolusi daur ulang di Swedia dibangun dari beberapa pilar utama:

  • Aturan pemisahan sampah yang ketat dari rumah tangga

  • Stasiun pemilahan sampah yang tersedia di setiap lingkungan

  • Investasi besar dalam pembangkit listrik dari sampah (waste-to-energy)

  • Pendidikan lingkungan sejak usia dini

  • Insentif bagi industri yang mengurangi penggunaan plastik dan kemasan

Bahkan kini, Swedia mengimpor sampah dari negara lain untuk menjaga operasi fasilitas pengolahan energinya tetap berjalan https://earth.org/sweden-waste-to-energy.

Mengapa Indonesia Masih Tertinggal?

Meskipun memiliki kekayaan laut dan sumber daya yang besar, realita di lapangan masih memprihatinkan:

  • Produksi sampah plastik lebih dari 3,9 juta ton per tahun

  • Lebih dari 1 juta ton bocor ke laut setiap tahunnya

  • Tingkat daur ulang masih rendah, hanya sekitar 10--15%

  • Infrastruktur pengumpulan dan pemilahan sampah masih lemah

  • Kesadaran masyarakat terhadap isu ini belum merata

Photo courtesy of ProjectSTOP and BorealisAG, bagian dari program waste management di Banyuwangi, Jawa Timur 
Photo courtesy of ProjectSTOP and BorealisAG, bagian dari program waste management di Banyuwangi, Jawa Timur 

Bisa kah Kita Menyalin Model Swedia?

Tidak bisa disalin langsung, tapi prinsip dasarnya bisa diadaptasi sesuai dengan kondisi lokal di Indonesia. Beberapa langkah yang dapat diambil:

  1. Membangun pusat pengumpulan dan pemilahan sampah skala kecil di pulau-pulau dan kota pesisir

  2. Mengintegrasikan pendidikan lingkungan ke dalam kurikulum sekolah

  3. Mendukung UMKM yang mengubah limbah plastik menjadi produk kerajinan atau bahan bangunan

  4. Mengembangkan pembangkit energi dari sampah skala mikro

  5. Mendorong pengembangan plastik ramah lingkungan dari singkong, rumput laut, atau serat pisang

  6. Mewajibkan industri untuk bertanggung jawab atas kemasan yang mereka hasilkan (EPR)

Langkah-langkah ini tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga membuka lapangan kerja baru, mendukung pariwisata berkelanjutan, dan meningkatkan kesehatan masyarakat di wilayah pesisir.

Penutup: Semangat Swedia, Solusi Indonesia

Swedia membuktikan bahwa perubahan berkelanjutan bisa terjadi jika ada sinergi antara kebijakan, pendidikan, dan budaya masyarakat. Indonesia bisa dan harus menemukan jalannya sendiri. Solusi hijau versi Indonesia perlu dimulai dari komunitas, sekolah, dan desa-desa.

Laut tidak menunggu. Alam tidak menunggu.
Saatnya kita juga tidak menunda.

Tentang Penulis:

Rachid Libourki adalah mahasiswa asal Maroko yang kini menempuh pendidikan di Universitas Negeri Malang. Ia memiliki latar belakang dalam energi terbarukan dan tertarik pada isu lingkungan, keberlanjutan, serta edukasi publik tentang teknologi bersih.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun