Beberapa waktu lalu, saya membaca berita tentang Uni Emirat Arab dan Australia yang sedang gencar mengembangkan energi hidrogen hijau. Energi ini disebut-sebut sebagai bahan bakar masa depan, pengganti minyak bumi yang benar-benar bersih dan ramah lingkungan. Saya terkesima membaca potensi itu. Tapi saya juga mulai bertanya dalam hati. Di mana posisi Indonesia dalam peta energi bersih global? Mengapa nama kita jarang muncul dalam percakapan tentang green hydrogen?
Sebagai mahasiswa matematika yang sebelumnya pernah belajar tentang energi terbarukan, saya sadar bahwa Indonesia sebenarnya memiliki semua bahan baku untuk masuk ke industri ini. Kita punya sinar matahari yang melimpah, ketersediaan air yang luas, dan potensi listrik bersih yang luar biasa. Tapi semua itu seolah belum terhubung menjadi satu arah kebijakan.
Green hydrogen atau hidrogen hijau adalah gas hidrogen yang dihasilkan melalui proses elektrolisis air dengan menggunakan listrik dari sumber energi terbarukan seperti tenaga surya atau angin. Tidak ada emisi karbon dalam proses ini. Tidak ada pembakaran bahan bakar fosil. Hasilnya benar-benar bersih. Itulah mengapa ia disebut-sebut sebagai bahan bakar masa depan untuk transportasi, industri, dan pembangkit listrik.
Beberapa negara sudah mengambil langkah nyata. Jepang misalnya, telah menyiapkan jalur distribusi khusus untuk hidrogen. Korea Selatan menargetkan satu juta mobil bertenaga hidrogen pada 2030. Australia bahkan mempersiapkan skema ekspor hidrogen ke Asia dalam jumlah besar. Di Asia Tenggara, Malaysia dan Singapura sudah memulai proyek percontohan mereka.
Namun Indonesia belum terdengar. Padahal, menurut IESR (Institute for Essential Services Reform), Indonesia memiliki potensi lebih dari 400 gigawatt untuk energi surya dan ribuan kilometer garis pantai yang cocok untuk turbin angin. Kombinasi ini ideal sebagai sumber energi pembangkit hidrogen. Tapi sampai saat ini, belum ada roadmap nasional yang jelas untuk hidrogen hijau. Belum ada kebijakan fiskal yang mendukung, dan risetnya masih terbatas di level akademik.
Sebagian orang mengatakan teknologinya masih mahal. Tapi kita harus ingat bahwa hal yang sama juga pernah dikatakan tentang panel surya. Dulu, harga panel surya dianggap tidak masuk akal untuk masyarakat umum. Tapi setelah adanya dorongan investasi, produksi massal, dan dukungan kebijakan, harganya kini turun drastis. Hal yang sama bisa terjadi pada hidrogen hijau jika kita mulai dari sekarang.
Saya percaya bahwa Indonesia tidak perlu menunggu semuanya sempurna untuk memulai. Kita bisa mulai dari pilot project kecil di kawasan industri hijau seperti di Kalimantan Timur. Kita bisa melibatkan perguruan tinggi dan badan usaha milik negara untuk riset dan pengembangan. Kita juga bisa membuka pelatihan teknisi dan insinyur energi bersih, agar generasi muda punya peran nyata dalam transisi ini.
Kita tidak perlu menjadi negara kaya terlebih dahulu untuk berinvestasi dalam masa depan. Justru dengan memulai dari sekarang, kita bisa menjadi pelopor di kawasan. Bukan hanya untuk kebutuhan domestik, tetapi juga sebagai pengekspor energi bersih di masa depan.
Saya tahu bahwa perubahan besar selalu dimulai dari pertanyaan kecil. Dan pertanyaan saya hari ini sederhana. Apakah kita mau tetap menjadi pasar, atau mulai menjadi pencipta?
Green hydrogen bisa menjadi solusi bagi Indonesia. Bukan hanya untuk mengatasi ketergantungan pada energi fosil, tetapi juga untuk membuka jalan menuju kemandirian energi yang bersih dan berkelanjutan. Masa depan bukan datang tiba-tiba. Ia diciptakan oleh keberanian hari ini.