Di sebuah sore yang gerah, saya memandangi atap rumah kos teman saya di Malang yang sepi dan lempeng begitu saja. Matahari bersinar terik seperti biasa. Tapi atap itu kosong. Tidak ada panel surya, tidak ada jejak bahwa kita hidup di negara tropis. Lalu saya bertanya dalam hati: mengapa kita masih membayar listrik dari batu bara ketika matahari menyinari kita sepanjang tahun?
Sebagai mahasiswa matematika, saya sering berpikir dalam pola dan grafik. Saya terbiasa melihat pertumbuhan, tren, dan anomali. Tapi tidak ada grafik yang lebih membuat saya gelisah daripada grafik kenaikan emisi karbon global. Dan ya, Indonesia adalah salah satu penyumbang emisi terbesar di Asia Tenggara, dengan lebih dari 60 persen listrik masih berasal dari batubara.
Yang membuat saya lebih bingung adalah: bukankah kita punya segalanya untuk berubah? Matahari? Ada. Angin? Melimpah. Air? Mengalir terus. Tapi kita seperti berpura-pura tidak tahu. Pajak karbon sudah dimulai sejak 2022, tapi hanya Rp30.000 per ton. Sementara negara seperti Swedia sudah mencapai lebih dari USD 130 per ton, dan hasilnya nyata: emisi turun drastis, dan energi bersih jadi pilihan utama.
Lalu saya berpikir lagi, mungkin ini bukan soal teknologi. Bukan juga soal dana. Tapi soal keberanian mengambil keputusan. Kita sering membahas "masa depan energi", padahal yang harus dibahas adalah "masa kini energi". Kita tidak sedang menunggu masa depan. Krisis iklim sudah nyata. Udara makin panas, air makin langka, cuaca makin sulit diprediksi. Kita sedang hidup di antara peringatan.
Saya tidak mengajak siapa pun untuk jadi aktivis atau ahli energi. Tapi saya percaya, setiap orang bisa mulai dari pertanyaan sederhana: dari mana listrik saya berasal, dan apakah saya nyaman dengan jawabannya?
Kalau hari ini kita bisa membayar pulsa data untuk scroll media sosial berjam-jam, mengapa kita tidak bisa mulai menyisihkan energi untuk belajar tentang panel surya, tentang komunitas energi, atau sekadar bertanya kepada diri sendiri: apa yang bisa saya ubah?
Indonesia tidak kekurangan cahaya, tapi barangkali kita kekurangan kemauan. Dan saya percaya, generasi saya bisa menjadi generasi yang berani berubah. Tidak hanya dengan mimpi dan wacana, tapi dengan langkah nyata. Entah itu belajar membuat model distribusi listrik di desa lewat matematika, atau mendukung kebijakan pajak karbon yang lebih masuk akal.
Bumi sudah memberi kita sinar, air, angin, dan ruang. Sekarang, giliran kita memberi sesuatu kembali: keberanian.
Tentang Penulis
Rachid Libourki adalah lulusan program diploma energi terbarukan dengan pengalaman di bidang energi surya dan angin. Saat ini, ia sedang menempuh tahun terakhir studi sarjana di bidang Matematika di Universitas Negeri Malang. Ia aktif menulis tentang transisi energi, kebijakan iklim, dan peran sains dalam menciptakan masa depan berkelanjutan.