Setiap kali musim hujan datang, kekhawatiran masyarakat Kediri terhadap wabah Demam Berdarah Dengue (DBD) ikut meningkat. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab dari tahun ke tahun, grafik kasus DBD seolah tidak pernah benar-benar menunjukkan penurunan yang signifikan. Ketika angka kasus mulai naik, biasanya respons yang paling cepat, populer, dan mudah dikenali adalah satu: fogging. Fogging atau pengasapan telah menjadi solusi instan yang selama ini diandalkan pemerintah daerah untuk membasmi nyamuk Aedes aegypti penyebab DBD. Di beberapa wilayah seperti Kelurahan Mojoroto, Pesantren, hingga Ngadiluwih, kegiatan fogging sering dilakukan ketika terdapat laporan warga yang terjangkit. Namun, muncul pertanyaan penting: apakah fogging benar-benar efektif dalam menurunkan kasus DBD secara berkelanjutan? Kenyataannya, fogging memang mampu membunuh nyamuk dewasa dalam radius sempit, tetapi efektivitasnya hanya berlangsung sesaat. Jentik nyamuk yang masih berada di tempat-tempat tersembunyi tidak terjamah oleh asap dan akan menetas beberapa hari setelah fogging dilakukan. Akibatnya, siklus hidup nyamuk terus berjalan dan kasus DBD kembali bermunculan. Ironisnya, banyak masyarakat merasa sudah aman hanya karena lingkungan mereka disemprot asap, padahal ancaman masih mengintai. Lebih dari itu, fogging yang dilakukan terlalu sering justru berpotensi menciptakan resistensi pada nyamuk. Artinya, nyamuk dapat beradaptasi dan menjadi kebal terhadap bahan kimia yang digunakan dalam fogging. Hal ini tentu membuat pengendalian DBD menjadi semakin sulit. Selain itu, paparan asap insektisida berlebihan juga dapat memberikan dampak negatif pada kesehatan manusia, terutama anak-anak, lansia, serta mereka yang memiliki gangguan pernapasan. Fogging yang seharusnya menjadi langkah taktis dalam kondisi darurat malah bisa menjadi bumerang jika dijadikan rutinitas tanpa strategi jangka panjang. Yang lebih mengkhawatirkan, fogging kadang digunakan lebih sebagai solusi politis atau simbolis semata---cukup dilakukan pengasapan agar terlihat "ada tindakan" dari pemerintah, tanpa upaya lanjutan yang menyentuh akar permasalahan. Padahal, pemberantasan DBD seharusnya dimulai dari upaya pencegahan yang melibatkan peran aktif seluruh lapisan masyarakat. Sayangnya, program seperti Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan gerakan 3M Plus (Menguras, Menutup, Mengubur barang bekas, serta langkah tambahan lainnya) sering kali dilupakan atau dianggap sebagai metode lama yang tidak relevan, padahal inilah fondasi utama dalam pengendalian nyamuk secara berkelanjutan. Saat ini, yang dibutuhkan adalah pendekatan baru yang lebih menyeluruh dan berkelanjutan.
   Edukasi tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan harus digalakkan secara konsisten, bukan hanya ketika kasus melonjak. Pemerintah daerah bisa menggandeng sekolah, karang taruna, komunitas relawan, hingga tokoh masyarakat untuk menyebarkan pengetahuan dan kesadaran tentang bahaya DBD dan pentingnya pencegahan berbasis lingkungan. Kader-kader kesehatan di tingkat RT dan RW juga dapat diberdayakan untuk melakukan pengecekan berkala dan memberikan edukasi dari pintu ke pintu, bukan hanya datang saat ada laporan warga yang sakit. Selain itu, distribusi larvasida seperti abate harus dilakukan secara merata dan merakyat, agar masyarakat bisa langsung membasmi jentik nyamuk di lingkungan rumah mereka. Penyediaan tempat sampah tertutup dan sistem pembuangan air yang baik juga penting untuk mencegah tempat berkembang biaknya nyamuk. Pemerintah perlu memberlakukan aturan tegas soal kebersihan lingkungan, misalnya dengan memberi sanksi bagi rumah atau bangunan yang ditemukan menjadi tempat perindukan nyamuk. Langkah ini akan memberikan efek jera sekaligus meningkatkan tanggung jawab kolektif. Tak kalah penting, kita juga harus memanfaatkan kemajuan teknologi sebagai alat bantu pengawasan dan pelaporan. Di era digital ini, sangat memungkinkan untuk mengembangkan aplikasi berbasis warga yang memudahkan pelaporan potensi sarang nyamuk secara real-time, pemetaan kasus DBD di berbagai wilayah, serta sistem peringatan dini yang berbasis data cuaca dan kelembapan. Pendekatan ini bukan hanya inovatif, tetapi juga partisipatif. Kediri tidak bisa terus mengandalkan cara lama dalam menghadapi ancaman yang terus berkembang. Menggantungkan harapan pada fogging semata bukanlah solusi jangka panjang yang efektif. Justru dengan terus bergantung pada metode ini, kita melupakan bahwa kekuatan terbesar dalam mencegah DBD ada di tangan kita sendiri---di lingkungan rumah yang bersih, di bak mandi yang rutin dikuras, dan di pola hidup sehat yang kita jalankan secara konsisten. Sudah saatnya Kediri berbenah. Bukan lagi dengan asap yang menutupi akar masalah, tetapi dengan aksi nyata yang menyasar akar persoalan dan melibatkan semua elemen masyarakat. Langkah kecil yang dilakukan bersama akan lebih berdampak daripada langkah besar yang hanya simbolis. Demi masa depan yang lebih sehat, mari tinggalkan solusi semu dan beralih ke perubahan yang nyata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI