Mohon tunggu...
Raafi Arrasy
Raafi Arrasy Mohon Tunggu... Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

tertarik dengan isu isu sosial dan psikologi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

"Komunitas Marah Marah" di Platform "X": Sebuah Analisis Sosiologis atas Fenomena Curhatan Online Korban Kejahatan

29 Juni 2025   09:56 Diperbarui: 29 Juni 2025   09:56 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Komunitas Marah Marah di Platform X (Sumber: X)

Di zaman sekarang yang serba digital dan serba terhubung ini, aplikasi media sosial kayak "X" (yang dulu kita kenal sebagai Twitter) sudah jadi bagian penting banget dari hidup kita sehari-hari. Aplikasi ini bukan cuma buat bagi-bagi kabar atau ngobrol, tapi juga jadi tempat besar di mana semua emosi manusia tumpah ruah. Mulai dari senang, sedih, sampai marah dan kecewa yang dalam banget. Nah, akhir-akhir ini kita sering lihat munculnya hal menarik sekaligus bikin khawatir: ada "komunitas marah marah" di platform ini. Komunitas-komunitas ini punya ciri khas yang jelas, yaitu jadi tempat kumpulnya orang-orang yang jadi korban berbagai macam kejahatan. Mereka itu bisa jadi orang yang kehilangan uang karena penipuan online, atau yang hatinya sakit karena perselingkuhan pasangan yang ketahuan lewat dunia maya, atau juga korban masalah emosi lainnya.

Di dalam "komunitas marah marah" ini, para korban nemuin tempat di mana mereka bisa bebas dan terbuka cerita soal pengalaman pahit yang mereka alami. Mereka bagi-bagi cerita detail penipuan yang bikin mereka kehilangan tabungan seumur hidup, atau ngungkapin rasa sakit hati dan dikhianati karena perselingkuhan yang bikin rumah tangga hancur. Lebih dari sekadar cerita, mereka juga cari dukungan emosi dari sesama anggota yang ngerti banget rasa sakit mereka. Kayak ada ikatan nggak kelihatan yang terbentuk dari pengalaman pahit yang sama, bikin mereka ngerasa punya teman. Kegiatan utama di komunitas ini adalah ngelampiasin marah dan rasa frustrasi yang selama ini dipendam. Mereka ngerasa "didengar" dan "dibenarkan" atas emosi negatif yang mereka rasakan. Mungkin di dunia nyata, emosi ini susah mereka tunjukkin karena malu atau orang lain nggak ngerti.

Kalau dilihat sekilas, munculnya "komunitas marah marah" ini bisa dibilang kayak alat pengaman sosial. Di sinilah para korban bisa ngeluarin tekanan yang numpuk, nemuin teman seperjuangan, dan ngerasa nggak sendirian hadapin masalahnya. Mereka bisa teriak, ngeluh, bahkan ngomong kasar bareng-bareng tanpa takut dihakimi. Tapi, fenomena ini nggak berhenti cuma di fungsi pengaman itu aja. Malah, ini bikin banyak pertanyaan penting yang harus kita jawab. Kenapa sih, di tengah masyarakat yang punya hukum dan bantuan sosial, para korban kejahatan ini justru milih dunia online buat ngelampiasin emosi bareng-bareng dan segitu intensnya? Apa yang bikin mereka ngerasa lebih aman atau lebih didukung di dunia maya daripada di lingkungan mereka sehari-hari? Dan yang nggak kalah penting, gimana cara kerja interaksi di dalam "komunitas marah marah" ini, yang isinya orang-orang sakit hati dan penuh emosi negatif, bisa jadi cara mereka ngatasin masalah tapi di sisi lain juga bisa bikin masalah baru yang mungkin nggak mereka duga?

Ciri khas dunia digital, seperti cepatnya informasi nyebar dan kita bisa agak nggak dikenal (anonim), juga ikut bikin fenomena ini muncul. Para korban bisa cepat banget bagi cerita mereka tanpa banyak saringan, cerita mereka bisa dibaca banyak orang dalam hitungan detik, dan langsung dapat tanggapan. Tanggapan ini bisa berupa simpati yang menghangatkan hati, nasihat dari orang yang pernah ngalamin hal sama, atau bahkan marah bareng-bareng yang ikut bikin mereka semangat. Penting buat kita pahami, ini bukan cuma soal kejadian satu per satu. Ada pola dan cara kerja masyarakat yang lebih besar di baliknya. Seringnya, karena nggak ada tempat yang aman, atau bantuan dari pihak berwenang yang kurang, atau bahkan rasa malu karena jadi "korban" di dunia nyata, bikin mereka cari tempat buat lari, pengakuan, dan dukungan emosi di dunia maya. Komunitas ini jadi kayak "benteng" di mana kemarahan mereka diakui dan dibenarkan, seringnya tanpa harus takut sama akibat sosial yang mungkin mereka temui di kehidupan nyata.

Buat ngerti lebih jauh kenapa para korban kejahatan ini milih ngelampiasin emosi bareng-bareng di "komunitas marah marah" di platform "X", kita perlu pinjam beberapa ide dan teori dari ilmu sosiologi. Ini bakal bantu kita ngelihat kejadian ini bukan cuma sebagai perilaku satu orang, tapi sebagai bagian dari cara kerja masyarakat yang lebih besar.

Pertama, ada ide anomi yang dikenalin sama ahli sosiologi mile Durkheim. Anomi itu artinya keadaan di mana aturan atau pedoman hidup di masyarakat jadi nggak jelas atau kayaknya nggak berlaku lagi. Para korban penipuan atau perselingkuhan, misalnya, sering ngerasa kalau aturan keadilan atau aturan moral yang seharusnya ngelindungin mereka malah dilanggar terang-terangan. Mereka mungkin ngerasa kalau sistem hukum itu lambat, ribet, atau bahkan nggak bisa kasih keadilan yang sepadan sama kerugian yang mereka alami. Atau, mereka mungkin ngerasa masyarakat luas nggak cukup peduli atau malah nyalahin korban. Rasa kecewa yang dalam banget sama "sistem" yang dirasa nggak jalan inilah yang bisa bikin mereka cari tempat lain buat ngelampiasin marah dan kecewa mereka. Di dalam "komunitas marah marah", mereka nemuin semacam "aturan baru" yang terbentuk sendiri: di sini, marah-marah itu sah-sah aja, diterima, dan bahkan didukung sama anggota lain. Aturan sosial yang seharusnya bikin hidup tertib, seolah-olah, nggak berlaku lagi buat mereka yang ngerasa "ditinggalkan" sama sistem.

Kedua, teori identitas sosial ngasih pandangan penting buat ngerti gimana orang-orang ini bisa kumpul jadi satu kelompok. Ketika seseorang jadi korban kejahatan, identitas diri mereka bisa hancur berantakan. Mereka mungkin ngerasa malu, bodoh, atau kayaknya udah nggak berharga. Perasaan sendirian dan terpisah dari orang lain sering bikin mereka kepikiran. Nah, kalau mereka gabung sama komunitas yang isinya sesama korban, itu bisa bantu mereka bangun lagi atau bahkan bikin identitas sosial yang baru. Di dalam kelompok, mereka nggak lagi cuma "korban yang nggak berdaya", tapi bisa jadi "orang yang berhasil bertahan" (survivor) yang kuat, "pejuang keadilan" yang berani ngomong, atau "pemberi peringatan" buat orang lain. Dengan ngerasa jadi bagian dari kelompok, mereka nemuin rasa punya teman, tempat di mana pengalaman pahit mereka dimengerti dan diterima tanpa perlu jelasin panjang lebar. Rasa marah yang sama, yang muncul karena rasa nggak adil, jadi perekat yang kuat banget. Ini nyatuin mereka jadi kayak "kita" yang melawan "mereka" (para penjahat, atau bahkan sistem yang dianggap gagal ngelindungin). Proses ini ngasih kekuatan bareng-bareng yang mungkin nggak mereka punya kalau cuma sendiri.

Ketiga, kita juga bisa ngelihat fenomena ini dari sudut pandang teori fungsionalisme, meskipun ada catatan soal kemungkinan efek buruknya. Dari satu sisi, "komunitas marah marah" ini bisa punya fungsi positif sebagai tempat ngeluarin emosi atau cara ngatasin masalah (coping mechanism) buat orang per orang. Ngelampiasin emosi bisa ngurangin tekanan di pikiran dan ngehindarin emosi itu jadi masalah kesehatan mental yang lebih serius. Komunitas ini nyediain tempat buat saling dukung, bagi-bagi info soal langkah hukum, atau bahkan tips buat pemulihan. Tapi, di sisi lain, kalau kemarahan ini nggak disalurin dengan cara yang baik dan nggak ada aturan yang sehat di dalam komunitas itu sendiri, bisa jadi malah bikin masalah yang "nggak berfungsi" di masyarakat. Kemarahan yang terus-menerus dan tanpa arah bisa bikin masalah baru kayak omongan kebencian yang berlebihan (ke pelaku atau bahkan kelompok lain), nyebarin informasi yang belum tentu bener atau bikin orang benci, sampai kemungkinan bertindak main hakim sendiri di dunia maya (misalnya, nyebarin data pribadi orang atau nge-bully online ke orang yang dicurigai pelaku). Rasa kebersamaan di komunitas ini, yang awalnya terbangun di atas kemarahan dan solidaritas, bisa jadi rapuh dan gampang banget berubah jadi emosi negatif yang makin parah, bahkan bisa dimanfaatkan sama orang-orang yang nggak bertanggung jawab buat kepentingan mereka sendiri.

Selain itu, ide solidaritas mekanik dari Durkheim juga bisa sedikit dipakai di sini. Di dunia digital, orang-orang kumpul bukan karena beda-beda atau spesialisasi pekerjaan (solidaritas organik), tapi karena punya perasaan dan pengalaman yang sama (solidaritas mekanik). Kesamaan rasa sakit dan marah inilah yang bikin ikatan mereka kuat. Tapi, ikatan ini gampang rapuh karena cuma fokus sama satu emosi atau pengalaman aja. Ini yang bikin komunitas ini cenderung cuma muter-muter di isu kemarahan dan susah buat gerak ke arah solusi atau pemulihan yang lebih lengkap kalau nggak ada bantuan yang tepat. Semua hal-hal sosiologi ini saling nyambung, nunjukkin gimana ciri khas dunia maya dan kondisi sosial di dunia nyata nyatu bikin fenomena rumit di "komunitas marah marah" ini.

Melihat banyaknya korban kejahatan yang ngelampiasin emosi segitu kuatnya di "komunitas marah marah" online, ada beberapa hal penting yang harus kita pikirin bareng dari sisi pendidikan. Pendidikan, dalam arti luas, punya tanggung jawab besar banget. Nggak cuma ngajarin ilmu pengetahuan, tapi juga ngebentuk karakter, etika, dan kemampuan seseorang buat jalanin hidup dengan baik di berbagai lingkungan, termasuk di dunia digital yang makin kompleks ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun