Mohon tunggu...
Rasinah Abdul Igit
Rasinah Abdul Igit Mohon Tunggu... Lainnya - Mengalir...

Tinggal di Lombok NTB, pulau paling indah di dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Asyura, Karbala dan Sejarah Perpecahan Politis

10 Oktober 2016   20:55 Diperbarui: 10 Oktober 2016   20:59 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah tali panjang ketegangan Sunni-Syiah yang membentang kemana-mana, ke daerah-daerah lain, bahkan mungkin ke negara-negara muslim yang tengah menikmati perang. Tali panjang ketegangan yang berlatarbelakang malasnya kita membuka babak sejarah sendiri dan berujung pada kesalahan sikap. Ketegangan terus dilembagakan, ulama-ulamnya membuat fatwa kesesatan antara satu dengan yang lain, di masjid dan majelis taklim riuh dengan soal halal-haram beribadah kelompok lain. Cara yang demikian terus menjalar. Kini bukan lagi antara sunni dan syiah, tapi Sunni dan Ahmadiyah, antara Sunni dan Kristen, Islam dan Budha, antar ummat manusia. Melembagakan perpecahan atas dasar kesalahan membaca sejarah. Lagi sekali, negara terlanjur menyederhanakan kegawatan ini.

Betapa bodohnya kita yang melihat problem intoleransi beragama sebagai tema diskusi kelas dua. Kita terlambat sadar bahwa ambruknya tatanan berbangsa di belahan bumi yang lain justru diakibatkan oleh perdebatan bentuk Tuhan, seberapa kuatpun kecenderungan ekonomi dibaliknya.

Para pendiri bangsa telah menggariskan dengan jelas bahwa resiko menjadi bangsa yang majemuk adalah situasi berhadap-hadapannya antar nilai yang berbeda itu. Problemnya, kita tidak pernah menganggap situasi yang demikian sebagai syarat pengaya nilai. Keragaman sudah terlalu jauh kita artikan sebagai persaingan “menghilangkan yang satu, dan mengangkat yang lain”. Garis bernegara yang sedemikian rupa telah diwariskan para pendahulu seakan sengaja kita kaburkan, tidak peduli mereka yang kita sebut pahlawan itu berasal dari banyak latar belakang.

Kemudian, dipakailah cara pandang yang demikian itu untuk melihat warna-warni keyakinan antar setiap pemeluk agama.  Ruh agama paling hakiki berupa kebersamaan telah dibelokkan menjadi ruh kotak-kotak, sekat-sekat.  Ruh agama paling tinggi berupa pembumian, disalah artikan menjadi upaya pe-langit-an.  Semua terpaku soal teks, semua tidak pernah bicara konteks. Ruh agama paling atas berupa kedamaian, tinggal berupa ajaran-ajaran yang disampaikan di pojok-pojok sosial yang paling sempit. Energi bangsa ini terkuras habis hanya untuk membicarakan bentuk-bentuk yang paling rinci akan Tuhan , tidak sadar bahwa kita telah membicarakan kesia-siaan belaka

Ummat mayoritas harus benar-benar mengerti akan gerak sosiologis sebuah agama yang akan terus berkembang baik dari segi ajaran maupun penganutnya. Para pemeluk keyakinan tidak bisa hilang hak paling asas mereka hanya karena belum genap berjumlah 80 atau 90 orang sebagai syarat berdirinya rumah ibadah, seperti yang terjadi dalam kasus pembangunan sebuah Gereja di Jawa Barat beberapa waktu lalu.

Mayoritas, lewat-lewat sendi-sendi kekuasaan yang mereka miliki harus melakukan langkah-langkah persiapan mengantisipasi perkembangan para pemeluk keyakinan. Pertama, pesan pesan pembauran harus terus dikampanyekan. Indonesia tidak boleh seperti beberapa negara Timur Tengah yang terkoyak akibat adanya zonasi daerah berdasarkan agama, di zona ini beragama Islam, di zona itu beragama Kristen, dan lain-lain yang dapat melahirkan gesekan tajam.  Ciri kampung dan kota di Indonesia haruslah multi warna yang memungkinkan mereka saling mengenal satu sama lain. Wallahu a’lamu bissawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun