Mohon tunggu...
Aryandi Muhammad
Aryandi Muhammad Mohon Tunggu... mahasiswa -

mahasiswa uin sunan kalijaga prodi ilmu komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mungkin Tak Istimewa Lagi?

7 April 2018   09:30 Diperbarui: 7 April 2018   10:27 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://sosialpolitik.filsafat.ugm.ac.id

Jangan salah paham dulu, Saya punya kenalan waria, bukan karena saya suka bergaul dengan waria, saya punya kenalan karena beberapa waktu yang lalu saya melakukan penelitian tentang waria. Waria di kota lain dengan waria yang ada di Jogja sangat berbeda. Waria Jogja lebih istimewa sesuai dengan label Jogja "istimewa". Kenapa istimewa? Karena hanya di Jogja ada pesantren Waria, mereka juga bilang di Jogja aman bagi waria. Kalau mau tau lebih lanjut, pesan lagi kursi di Cafe Blandongan atau kunjungi blog saya atau saya kirimkan file penelitian saya.

Kejelekan selanjutnya mungkin yang terakhir, saya sudah lelah, saya juga punya tugas yang harus saya kerjakan, maklum mahasiswa hehe. Jogja kata orang, representasi Indonesia mini, saya sangat setuju dan kalian juga harus setuju. Dibalik label Indonesia mini, ada secungkil diskriminasi, tak usah saya sebutkan takut menimbulkan konflik, saya rasa kalian juga sudah tau diskriminasi itu ditujukan kepada siapa, yang jelas ada diskriminasi. Tak usah saya bahas lebih baik kita diskusi, sekarang giliran kamu yang milih mau di cafe mana.

Saya hanya ingin berpesan, kenapa ada diskriminasi karena Jogja berhati nyaman, kata salah seorang pembicara di diskusi yang saya hadiri dia berkata "Jogja itu harusnya tidak berhati nyaman apalagi untuk mahasiswa". Ini semacam sindiran sih tapi saya bolak balik biar sulit dipahami agar tidak ada yang tersinggung.

Selanjutnya, yang tadi bukan yang terakhir ternyata haha. Persoalan trotoar di Jogja, bagi kalian yang sering jalan kaki mungkin akan merasa risih akan kelakuan pedagang kaki lima, kenapa? Karena mereka menjadikan trotoar sebagai tempat penjualan bahkan sudah ada yang dibuat permanen, percaya? Kalian harus percaya, Kalau tidak perhatikan saja jika kalian lewat di Jalan Adisucipto di depan gedung wanitatama.

Di sepanjang trotoar itu penuh dengan pedagang kaki lima. Kalau menurut teori dosen saya sebut saja ISW, tindakan tersebut merupakan proses privatisasi maksudnya ranah publik dijadikan ranah privasi. Kalau mau tau lebih, datang saja ke kos saya kita berdiskusi dan akan saya pinjami buku yang berjudul opini publik karya dosen favorit saya, kali ini tidak perlu di cafe, saya juga perlu ngirit maklum anak rantau. Selain trotoar yang bikin risih, polisi tidur Jogja juga tak boleh luput diperhatikan, karena polisi tidurnya sangat banyak dan tinggi-tinggi. Itu sangat mengganggu. Bagi kalian yang motornya baru mungkin tidak terganggu tapi bagaimana dengan kami yang motornya buntut haha.

Selanjutnya lagi, entah sudah yang keberapa. Kali ini mengenai makanan, saya menyinggung soal makanan karena ini stimulus dari perut saya haha. Jogja dikenal dengan makanan khasnya Gudeg. Saya sendiri belum pernah mencicipi, saya berharap ada gadis Jogja yang mau membuatkan saya haha. Walaupun saya belum pernah makan tapi rasanya manis, itu kata orang.

Gudeg itu perpaduan beberapa makanan yang dijadikan satu dalam satu hidangan, sejarahnya sih Gudeg itu lambang ketidakberkecukupan. Saya rasa kalian sudah tau historisnya jadi tidak perlu diuraikan lagi. Jogja menjadi surga bagi pecinta kuliner tapi akan menjadi neraka bagi orang yang lidahnya sulit beradaptasi kayak saya haha. Jadi wajar saja kalau badan kami agak minimalis, bukan karena kekurangan gizi tapi kami kurang cocok makanan Jogja. Jadi itu bisa dikategorikan kejelekan kota Jogja bagi kami yang milih-milih makanan, ini memang subjektif sih. Kalian boleh menolak karena ini negara demokrasi.

Dan lagi, Jogja kota santun, ramah dan tamah, ya semua orang setuju. Namun ada tapinya, apa itu? Antara santun dari lubuk hati yang dalam atau santun hanya karena sebatas pencitraan saat ini sangat sukar dibedakan, kenapa? Karena ada pergeseran budaya, pergeseran seperti apa? Kalian baca buku saja jangan hanya nonton bioskop, jangan hanya rapat nggak jelas.

Adanya pencitraan telah menimbulkan kemunafikan, jadi jangan heran kalau di Jogja banyak yang berwajah dua. Kalau kalian melihat orang berwajah dua lebih baik nyanyikan saja lagu Peterpan judulnya Topeng, "buka dulu topengmu biar kulihat wajahmu" itu hanya sepenggal liriknya kalau kalian mau melanjutkan aku siap mengiringi kalian dengan gitar tapi jangan gitar murahan haha.

Baiklah karena sudah agak panjang lebih baik bagian penutup. Bagian penutupnya aku sebenarnya bingung. Oh iya gini saja, kalian yang sudah meluangkan waktu untuk membaca tulisan sampah ini saya berterima kasih karena orang-orang seperti kalian yang patut diperjuangkan, kenapa? Sampah saja diperhatikan apalagi kalau bukan sampah, beri aplouse untuk kalian. Tujuan saya membuat tulisan ini bukan karena saya penulis tapi karena saya ingin disebut penulis. Sudah pantaskah? Belum, terima kasih., sudah, terima kasih banyak.

Setelah selesainya tulisan ini, saya berpikir mau posting dimana, di koran nggak diterima, mau dijadikan selebaran nggak punya duit, lebih baik saya posting di media sosial biar tulisan sampah ini dibaca orang-orang sampah yang hoby upload status alay di media sosial. Dengan membaca tulisan ini mungkin kalian akan sedikit lebih mengenal Jogja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun