Mohon tunggu...
Queen Nirvana Latifah
Queen Nirvana Latifah Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seorang Mahasiswa jurusan Manajemen di IPB University yang tertarik dengan dunia literasi dan karya fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perempuan di Persimpangan Karier: Menembus Batas, Melawan Bias

8 Maret 2025   19:55 Diperbarui: 8 Maret 2025   19:55 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Perempuan Mengepal Tangan Sebagai Ekspresi Kebebasan(Sumber: Unsplash/Miguel Bruna)

Lebih dari seabad lalu, ribuan buruh perempuan turun ke jalan di New York. Bukan hanya melangkah berjalan, tetapi mereka juga berjuang–melawan ketidakadilan, menuntut upah layak, dan memperjuangkan hak bersuara. Penindasan yang membudaya menjadi pemantik bagi gerakan perempuan yang semakin mengakar dan berkembang menjadi simbol perlawanan. Suara perjuangan mereka tak pernah redup, melainkan terus menggema dan semakin lantang menyuarakan perubahan. 

 Laporan Grant Thornton Women in Business 2024 mengungkapkan jumlah perempuan dalam posisi manajemen senior global meningkat pesat selama dua dekade yang awalnya hanya 19,4% di tahun 2004, kini mencapai 33,5% di 2024. Namun, di balik peningkatan ini, kesenjangan masih cukup terasa, baik dalam akses peluang karier maupun pengambilan keputusan. Hal ini adalah kenyataan yang cukup menyakitkan, kemajuan perjuangan perempuan selama ratusan tahun masih rapuh dan rentan akan kemunduran di masa depan. Jika demikian, sejauh mana dunia korporasi memberikan ruang bagi perempuan untuk berkembang dan memimpin? dan sejauh mana kebijakan saat ini mampu menjaga keberimbangan peran gender terus berlanjut?

Batas Karier Tak Kasat Mata

Meskipun angka perempuan yang berhasil mencapai level manajemen senior meningkat pesat, tetapi terdapat glass ceiling atau batas karier tak kasat mata bagi perempuan yang membuat perjalanan mereka menuju puncak penuh tantangan. Pada Laporan Grant Thornton Women in Business 2024 tertera bahwa hanya 19% perempuan yang berhasil mencapai posisi C-suite, turun cukup banyak dari tahun sebelumnya di angka 28%. Penurunan ini mencerminkan bahwa semakin tinggi jenjang karier, semakin sedikit pula perempuan yang bertahan di posisi teratas sebuah perusahaan. Glass ceiling didapat dari adanya stereotip gender terhadap perempuan dan tidak sedikit tanggapan yang diberikan orang-orang mengenai karyawan perempuan di dalam perusahaan. Stereotip gender yang mengasosiasikan perempuan dengan sifat-sifat feminin seperti emosional, tidak tegas, dan berbicara dengan lembut menjadi hambatan bagi perempuan karena dianggap tidak tepat tampil sebagai pemimpin (Satyaputri, N. G. G., & Hasfi, N., 2024). Selain itu, kurangnya pengawasan, pengaturan, pengumpulan data dan laporan atas terjadinya efek dari glass ceiling oleh pemerintah juga menjadi salah satu faktor glass ceiling tetap ada (Sutarman, T. et.al., 2024). 

Namun, ketika perempuan akhirnya berhasil menembus glass ceiling, tak jarang mereka menghadapi glass cliff–situasi di mana perempuan baru diberikan posisi kepemimpinan saat perusahaan berada dalam krisis. Pada situasi ini, gaya kepemimpinan perempuan menjadi faktor penting dalam menentukan keberhasilan ‘menyelamatkan’ perusahaan. Jika gagal, perempuan akan disalahkan dan terpaksa mundur, memperkuat stigma bahwa kepemimpinan perempuan tidak lebih baik daripada laki-laki. Dengan demikian, menembus batas karier bukan akhir dari perjuangan, melainkan tantangan awal di mana perempuan harus menghadapi ekspektasi ganda dan beban peran di kehidupan.

Ekspektasi dan Beban Peran Ganda Perempuan

Selain hambatan batas karier tak kasat mata, perempuan di dunia kerja juga harus menghadapi ekspektasi ganda yang membatasi ruang gerak mereka. Ketika seorang perempuan pemimpin menggunakan gaya komunikasi yang tegas atau asertif, ia mungkin dinilai lebih negatif dibandingkan laki-laki yang menggunakan gaya komunikasi yang sama. Sebaliknya, jika seorang perempuan pemimpin terlalu lembut atau terlalu fokus pada hubungan, ia mungkin dianggap tidak cukup kompeten untuk memimpin (Littlejohn & Foss dalam Satyaputri N. G. G., & Hasfi, N., 2024). Selain itu, tekanan diperkuat dengan budaya yang lebih menghargai kepemimpinan maskulin. Sedangkan, budaya patriarki melahirkan stereotip perempuan lekat dengan sifat-sifat feminim seperti emosional dan tidak tegas. Kondisi ini menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya harus membuktikan kemampuannya, tetapi juga harus menavigasi ekspektasi sosial yang bertolak belakang. Jika sistem ini terus berlanjut, perempuan di posisi kepemimpinan akan selalu berada dalam tekanan untuk menyesuaikan diri dengan standar ganda yang sulit dipenuhi.

Tantangan lain yang cukup besar dihadapi oleh perempuan dalam dunia kerja adalah beban peran ganda, di mana mereka tidak hanya memiliki tanggung jawab sebagai pekerja profesional, tetapi juga memiliki peran besar dalam urusan domestik. Beban peran ganda ini membuat perempuan seringkali dilema dalam menyeimbangkan peran mereka sebagai pekerja profesional dan domestik. Perempuan yang bekerja secara profesional di luar pekerjaan domestik distereotipkan negatif oleh banyak pihak sehingga bisa menghambat perempuan untuk mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki (Sutarman, T. et.al., 2024). Lagi-lagi tekanan ini diperparah oleh budaya patriarki yang melahirkan kebijakan yang tidak berpihak kepada perempuan. Di Indonesia, Pasal 79 UU Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa cuti melahirkan untuk perempuan adalah selama 3 bulan, sementara cuti ayah yang istri nya melahirkan atau paternal leave hanya 2 hari. Ketimpangan ini sangat menunjukkan bahwa tanggung jawab pengasuhan anak hanya dibebankan kepada perempuan. Selain itu, kurangnya fasilitas tempat penitipan anak atau daycare juga menjadi salah satu faktor hambatan bagi perempuan tetap bekerja setelah memiliki anak. Pada akhirnya, banyak perempuan yang terpaksa mengurangi jam kerja, menolak promosi, dan bahkan berhenti dari dunia kerja demi menjalani peran domestik sepenuhnya. 

Strategi Peningkatan Kesetaraan Gender dalam Kepemimpinan

Untuk mengatasi hambatan-hambatan perempuan di dunia kerja, diperlukan strategi yang sistematis dan berkelanjutan. Setiap elemen, baik perusahaan, pemerintah, maupun individu harus mengambil langkah nyata agar dapat mewujudkan kemenangan perjuangan perempuan dalam menuntut keadilan sehingga mereka dapat berkembang di dunia kerja tanpa ada hambatan. Berikut adalah beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesetaraan gender dalam dunia kerja:

  1. Pemisahan DE&I dari ESG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun