Kembali, Indonesia terjerat krisis lingkungan yang menonjol sepanjang 2024--2025. Kebakaran hutan dan lahan karhutla paling mudah dilihat: Riau, Kalimantan, dan Sumatera Selatan tampak seperti terbakar. Langit sering berubah oranye; bau asap menusuk, pekatnya menutup kampung sampai napas terasa berat. Warga menutup wajah dengan kain atau masker, anak-anak batuk-batuk dan sekolah-sekolah terpaksa libur. Suara.com melaporkan luas terbakar sudah melampaui 8.500 hektare sampai pertengahan 2025. Asapnya tak hanya merusak pemandangan; penerbangan jadi kacau, kegiatan ekonomi terganggu. Sementara itu, catatan Kompas Lestari menunjukkan deforestasi naik pada 2024 dibanding beberapa tahun sebelumnya. Penyebabnya akrab sekali: penebangan ilegal, konversi lahan menjadi perkebunan sawit, dan kebakaran gambut yang susah dipadamkan. Pemerintah mengklaim penurunan deforestasi secara nasional, tapi organisasi lingkungan menyatakan data resmi belum mencerminkan kondisi di lapangan. Siapa yang benar? Jawabannya jarang sesederhana angka dalam laporan. Pengawasan lemah dan penegakan hukum yang inkonsisten membuat masalah kian berbelit. Perusahaan yang diduga memicu kebakaran sering hanya mendapat sanksi ringan jika diberi sanksi sama sekali sehingga tumbuh rasa impunitas. Kebijakan yang mengedepankan investasi dan pembangunan kerap mengorbankan kelestarian alam. Ironis, bukan? Kerusakan ini memperlihatkan bahwa persoalan lingkungan bukan semata soal perilaku warga, melainkan juga soal kebijakan pemerintah yang tak pasti dalam menjaga sumber daya alam. Tanpa langkah nyata dan cepat, risiko banjir, kekeringan, dan polusi udara akan semakin besar. Kita hanya bisa menunggu bagaimana respons itu datang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI