Mohon tunggu...
si qoqon
si qoqon Mohon Tunggu... -

pengembara yang tak bisa berhenti belajar. pernah tinggal di jabodetabek dan dipanggil si qoqon. masa itu banyak mengenal berbagai manusia dari seluruh indonesia. masa kini sesekali bercuit di @siqoqon :)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Taman Nasional pun tak Bebas dari Sampah

27 Agustus 2015   13:28 Diperbarui: 27 Agustus 2015   13:28 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Taman Nasional adalah sebutan untuk suatu kawasan ekosistem alam yang dilindungi dari polusi (termasuk sampah) dan eksploitasi oleh manusia. Indonesia punya 50 taman nasional, dan 6 di antaranya merupakan situs warisan dunia. Salah satu situs warisan dunia yang terkenal adalah Taman Nasional Komodo, yang ekosistemnya dijaga demi keberlangsungan hidup komodo dan kawan-kawannya.

Kebanyakan taman nasional sulit dijangkau dari jalur transportasi utama, misalnya taman nasional Ujung Kulon. Tapi, ada beberapa taman nasional yang mudah dijangkau. Salah satunya adalah taman nasional Baluran, yang saya kunjungi bulan lalu. Karena mudahnya mengunjungi taman nasional ini, akhir-akhir ini seperti menjadi trend untuk pergi ke sana, dan banyak kelompok anak muda yang pergi ke sana hanya untuk berfoto-foto.

Saya sendiri pergi ke TN Baluran karena menyukai alam dan hewan liar, sehingga senang sekali bisa mengunjungi daerah alami ini tanpa harus terlalu banyak menyambung kendaraan umum. Agak sulit juga menjadikan kunjungan taman nasional sebagai acara keluarga, sehingga cuma 1 adik (yang juga memang suka berpetualang di alam) yang ikut. Berdua kami memesan penginapan di dalam taman nasional Baluran.

Sangat dipahami, penginapan di dalam taman nasional tidak terlalu banyak jumlahnya. Tujuannya untuk menjaga kelestarian lingkungan dari terlalu banyaknya campur tangan manusia. Jika penginapan penuh, pengunjung dipersilakan menginap di rumah penduduk yang berlokasi di sekitar pintu masuk. Kami sempat berbagi penginapan dengan pasangan bule dari Eropa. Pada saat itu ada 2 pasang yang lain dan 1 keluarga bule yang semuanya juga dari Eropa, plus 1 pasang turis Asia. 

Turis lokal kebanyakan baru kami temui di siang hari, setelah kami menginap semalaman dengan listrik cuma 5 jam tanpa sinyal ponsel di pinggir pantai Bama. Ternyata TN Baluran menjadi daerah kunjungan untuk acara keluarga juga. Ada yang ke situ karena ingin bermain ombak di pantai dan ada yang bawa rantang makanan untuk piknik di pinggir pantai. Tapi, piknik di pinggir pantai tidak mungkin karena monyet-monyet di situ sekarang sudah cukup beringas terhadap manusia. Mereka selalu mengejar manusia yang membawa makanan.

Monyet-monyet ini mencari plastik sampah bekas bungkus makanan, untuk dicari sisa-sisanya. Setelah itu, plastik sampahnya bisa berserakan ke mana-mana, sehingga mengkhawatirkan para petugas ekosistem hutan di TN Baluran jika plastik tersebut termakan oleh hewan lain. Lebih parahnya, para pengunjung tidak tertib membuang sampah pada tempatnya, sehingga monyet bebas memainkan plastik sampah itu.

[caption caption="Instruksi pada tong sampah di Taman Nasional Baluran"][/caption]

Gambar besar di atas menunjukkan tong sampah baru anti monyet yang disediakan oleh TN Baluran. Tutup tong sampah ini berat dan terdiri dari dua lapis, sehingga monyet kesulitan mencapai sampah yang ada di dalamnya. Tong-tong ini dilengkapi dengan gambar instruksi untuk para pengunjung, sehingga pengunjung sadar untuk membuang sampah pada tempatnya.

Sayangnya, tulisan pada tong sampah ini belum tentu terbaca oleh para pengunjung, karena boro-boro mereka mendekati tong sampah. Kami heran, kenapa para pengunjung lokal seakan buta terhadap tong sampah yang selalu disediakan di dekat penginapan maupun gubuk tempat piknik. Jaraknya hanya sekitar 10 meter, dan tong sampah ini sudah dicat warna hijau dan kuning supaya terlihat dari jauh.

[caption caption="Biawak, monyet, dan kubangan sampah"]

[/caption]

Sampah yang banyak tidak hanya di tempat piknik, melainkan ada juga di dalam hutan. Ketika kami masuk kawasan hutan tempat birdwatching (banyak burung bertengger di puncak pohonnya), di lantai hutan sesekali saya temukan sachet makanan/minuman, dan si bule melaporkan penemuan 3 botol plastik. Sayang saya tidak bawa kantong plastik. Secukupnya sachet sampah tersebut saya kantongi di saku celana untuk dibuang di tong sampah dekat tempat piknik. Lain kali perlukah bawa plastik besar untuk memunguti sampah? Seorang Kompasianer juga menemukan sampah di daerah hutan bakau.

Saya sampai curhat kepada para petugas TN Baluran tentang banyaknya sampah di hutan. Bapak petugas yang rajin menyapu di pantai malah beralasan bahwa sampah itu datang dari laut, bukan dari darat. Padahal saya bukan lagi menyalahkan dia untuk urusan pengelolaan sampah. Saya justru menyayangkan kalau pekerjaan bapak ini harus dibebani dengan menyapu begitu banyak sampah, sementara pengunjung bisa buang sampah sendiri!

Waktu curhat ke bapak petugas di daerah savana, saya mendapat pengetahuan baru. Ternyata, penyebab utama monyet-monyet menjadi beringas adalah para pengunjung juga. Mereka terbiasa diberi makanan manusia, sehingga monyet-monyet ini tidak lagi betah dengan buah-buahan di hutan maupun hewan kecil yang ditemukan di pantai. Mereka lebih suka makanan ala manusia mulai dari kerupuk sampai ayam goreng. Mereka juga overpopulasi, alias berkembang biak sangat banyak.

Sampai di pintu gerbang, sebelum kami pulang, curhat saya juga sampai ke salah satu bapak petugas. Masalah monyet beringas inilah yang sedang menjadi masalah utama. Monyet-monyet menjadi semakin mencari makanan manusia, sehingga banyak dari mereka sudah keluar ke pinggir jalan raya Situbondo-Banyuwangi, dan meminta makan pada manusia. Saya yang bukan ahli lingkungan, pernah membaca bahwa perkembangbiakan monyet itu tergantung dari ketersediaan makanan juga. Monyet yang kelaparan akan lebih jarang melakukan kegiatan prokreasi (mirip manusia juga, ya?). Para petugas berencana mengganti tulisan di papan pengumuman di pintu masuk dengan poster besar "dilarang memberi makan hewan". Taman nasional adalah tempat hewan hidup sesuai habitatnya, dan TN Baluran sudah menunjukkan bukti akibat campur tangan manusia.

Ketika curhat saya berlanjut tentang sampah yang banyak, bapak petugas menyebutkan bahwa pada saat libur Lebaran memang pengunjung membludak dan kebanyakan memang pengunjung lokal yang hanya untuk piknik sejenak. Mereka meninggalkan sampah yang begitu banyak. Saya berusaha mencari tahu jenis perilaku manusia pengunjung TN Baluran, karena sungguh penasaran, bagaimana caranya supaya mereka bisa buang sampah pada tempatnya?

Bapak petugas melanjutkan kisah pada saat dia memboncengkan turis bule dengan motor untuk masuk ke dalam taman nasional. Saat itu, di depan mereka ada mobil mewah yang tiba-tiba berhenti dan membuang sampah begitu saja di jalan di tengah hutan itu. Si turis minta si bapak menghentikan motornya, dan berlari mengejar si mobil yang baru beranjak. Si turis mengambil sampah tersebut, dan dengan tegas meminta si pemilik mobil untuk membawanya lagi dan membuangnya kalau ada tempat sampah.

Para petugas berencana akan membagikan kantong sampah untuk setiap pengunjung yang masuk. Sungguh miris, kalau yang punya mobil saja ogah menyimpan sisa makanannya sendiri di dalam mobilnya. Apalagi tong sampahnya sangat terjangkau kalau naik mobil! Daerah yang tidak ada tong sampahnya hanya di hutan sepanjang 12km antara pintu masuk dan savana Bekol, dan di jalan kering sepanjang 3km antara savana Bekol dan pantai Bama. Jalan tersebut tidak nyaman untuk dijadikan tempat piknik keluarga, sehingga sudah wajar tong sampah disediakan di savana dan pantai, di mana ada penginapan dan tempat piknik.

[caption caption="Botolnya kok dibuang begitu saja di pinggir gubuk piknik?"]

[/caption]

Hari itu saya amati, pengunjung tempat piknik (foto di atas) bukan keluarga melainkan sekelompok anak muda yang semuanya laki-laki. Setelah nongkrong di situ pada jam makan siang, mereka melanjutkan perjalanan dengan mobilnya dan lalu berfoto-foto di savana. Belum tentu mereka pelaku pembuangan botol plastik itu, tapi saya bisa ngamuk kalau melihat mereka melakukannya!

Para petugas juga akan membuat pengumuman dengan loudspeaker kalau pengunjung membludak lagi kelak. Mereka akan membuat peringatan berkali-kali bagi pengunjung untuk tidak memberi makan hewan. Mungkin juga berguna untuk memperingatkan mereka supaya membuang sampah pada tempatnya. Saya masih penasaran. Kenapa kita perlu diperingatkan berkali-kali untuk membuang sampah pada tempatnya? Kenapa kesadaran itu tidak timbul sendiri?

Sebagai penutup, mungkin ada baiknya kita juga perlu menyadarkan masyarakat pada umumnya, bahwa taman nasional bukanlah tempat piknik sembarangan. Bukan tempat seperti di tengah kota di mana kita manusia bebas jadi raja penguasa kawasan. Taman nasional adalah tempat di mana alam perlu sesedikit mungkin diutak-atik oleh manusia. Di bawah Departemen Kehutanan RI, semua taman nasional di Indonesia diawasi kelestarian ekosistemnya, dan difasilitasi untuk jadi tempat wisata. Taman nasional terbuka untuk umum, sehingga kita bisa menikmati alam segar tanpa polusi dengan membayar biaya masuk yang akan berguna untuk biaya operasional mereka. 

Di tengah kota saja kita tidak bisa memaklumi yang buang sampah sembarangan di antara banyaknya tong sampah umum yang disediakan. Apalagi di tengah hutan, di sebuah kawasan taman nasional?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun