Ada satu momen yang mengusik di benak saya: pekan lalu saya bertemu seorang teman kuliah 20 tahun lalu, yang kini bekerja keras siang malam demi mencukupi biaya sekolah anaknya yang masih SD, sambil sesekali izin kerja untuk mengurus ibunya yang mulai sakit-sakitan.Â
Ia tak pernah mengeluh, tapi dari cara ia menarik napas, saya tahu---lelah itu nyata. Ia adalah potret dari apa yang disebut generasi sandwich.
Istilah ini sering muncul belakangan, merujuk pada mereka yang berada di tengah dua tuntutan hidup---anak-anak yang masih bergantung dan orang tua yang mulai menua.Â
Tapi jauh sebelum istilah itu populer, fenomenanya sudah lama hidup di sekitar kita. Bahkan tanpa kita sadari, kita pernah melihatnya di wajah ayah kita, atau di punggung ibu kita yang tak pernah sepenuhnya beristirahat.
Ini Bukan Fenomena Baru, Tapi Pola yang Terulang
Banyak yang berpikir bahwa menjadi generasi sandwich adalah bagian dari kodrat: kita lahir, tumbuh, lalu bertanggung jawab atas dua sisi kehidupan---masa depan anak-anak kita, dan masa lalu yang kini menua dalam tubuh orang tua kita. Tapi pertanyaannya: apakah memang harus selalu begitu?
Orang tua kita dulu juga mengalami hal yang sama. Di masa muda, mereka menanggung beban keluarga sambil membesarkan kita. Kini, kita melakukan hal serupa kepada anak-anak dan mereka.Â
Ini adalah sebuah siklus finansial keluarga yang terus berulang---sebuah pola hidup yang mengikat satu generasi ke generasi berikutnya, tanpa ruang jeda, tanpa ruang aman.
Yang membedakan hanyalah zaman. Jika dulu harga kebutuhan relatif stabil dan biaya pendidikan masih terjangkau, hari ini tantangannya jauh lebih kompleks.Â
Biaya hidup membumbung, pendidikan makin mahal, dan usia harapan hidup meningkat, membuat beban generasi produktif semakin berat. Tapi sayangnya, kesadaran publik tentang realitas ini masih samar.
Ketika Lelah Tak Selalu Terlihat
Menjadi generasi sandwich bukan sekadar persoalan materi. Ini soal mental, soal waktu, soal energi yang dibagi-bagi hingga hampir tak bersisa.Â