Bandung dan Ekonomi Kreatif: Sebuah Studi Kasus yang Nyata
Setiap kota punya ceritanya sendiri. Tapi tak semua cerita bisa menginspirasi. Bandung, dengan segala dinamikanya, adalah pengecualian. Kota ini bukan hanya memantulkan kreativitas dalam bentuk mural, musik jalanan, atau kafe tematik---tapi telah membuktikan bahwa kreativitas bisa menjadi motor penggerak ekonomi lokal yang tangguh.
Bandung dikenal luas sebagai kota ngabret dalam urusan ide. Tak hanya kreatif dalam rupa, tapi juga dalam strategi pembangunan ekonomi berbasis potensi warganya. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bandung atas dasar harga berlaku mencapai Rp351,28 triliun pada tahun 2023 (BPS Kota Bandung, 2024).
Walaupun data resmi mengenai kontribusi spesifik sektor ekonomi kreatif terhadap PDRB belum dipublikasikan, sektor ini diyakini berkontribusi signifikan. Hal ini terlihat dari keberadaan lebih dari 56.075 pelaku ekonomi kreatif yang tersebar di 17 subsektor utama seperti fashion, kuliner, kriya, aplikasi, desain, dan musik (Pemkot Bandung, 2024).
Yang membuat Bandung menonjol bukan hanya angka, tetapi cara kota ini membangun jaring-jaring sosial dan kolaboratif yang menopang pertumbuhan kreatif. Salah satu contohnya adalah peran komunitas seperti Bandung Creative City Forum (BCCF), yang sejak 2008 menjadi simpul utama penghubung antara warga, pemerintah, akademisi, dan pelaku industri. Pendekatan quadruple helix yang dijalankan Bandung menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi kreatif tidak bisa hanya mengandalkan satu aktor. Perlu interaksi berkelanjutan antara mereka yang punya gagasan, yang punya ruang, yang punya ilmu, dan yang punya dukungan kebijakan.
Inisiatif seperti "Helarfest", "DesignAction.bdg", dan "Urban Farming" yang digagas BCCF menjadi bukti bagaimana ide-ide akar rumput bisa menjadi bagian dari transformasi kota. Bandung juga aktif terlibat dalam jaringan global, seperti UNESCO Creative Cities Network, yang tidak hanya menjadi pengakuan, tetapi juga membuka akses pada kerja sama internasional dan pertukaran pengetahuan lintas negara.
Bandung juga mencatat kemajuan signifikan dalam subsektor yang berbasis teknologi, seperti animasi, aplikasi, dan game. Contohnya, keberadaan studio seperti Agate di Bandung telah memperlihatkan bahwa kota ini bisa menjadi produsen, bukan hanya konsumen teknologi hiburan. Agate bukan hanya menembus pasar nasional, tapi juga telah bermitra dengan perusahaan global, menunjukkan kapasitas sumber daya manusia kreatif Bandung untuk bersaing di kancah internasional.
Di sisi lain, digitalisasi menjadi kekuatan yang memperluas jangkauan produk-produk ekonomi kreatif. Banyak UMKM kreatif di Bandung yang kini mengandalkan platform daring seperti Tokopedia, Shopee, hingga Etsy untuk menjangkau pasar nasional dan global. Pemerintah Kota pun telah meluncurkan platform seperti Bandung Connect untuk mengintegrasikan data pelaku ekonomi kreatif dan memperkuat ekosistem digital.
Namun, keberhasilan ini juga membawa tantangan. Regenerasi pelaku kreatif masih menjadi persoalan. Banyak anak muda yang ragu menekuni jalur kreatif karena faktor kestabilan ekonomi. Ditambah lagi, literasi digital, jangkauan pasar yang memadai dan akses terhadap modal masih belum merata, khususnya bagi pelaku di level mikro. Mereka bergerak dalam senyap, padahal punya potensi besar. Hal ini diperparah oleh pendekatan pembangunan yang masih terlalu kaku, lebih fokus pada proyek fisik ketimbang penguatan nilai dan ekspresi sosial. Kreativitas dianggap sekunder, bukan sebagai kekuatan pembangunan. Inilah yang perlu diubah secara nasional.
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif sudah memberi payung hukum yang jelas. Namun banyak daerah masih belum memiliki peta jalan ekonomi kreatif, dan tidak sedikit yang hanya membangun gedung "creative space" tanpa program dan komunitas. Di sinilah Bandung bisa menjadi rujukan: bukan dengan meniru, tapi dengan belajar dari cara kota ini membangun melalui kolaborasi dan keberpihakan.
Yang menarik dari Bandung bukan sekadar bentuk programnya, tetapi semangatnya. Pemerintah tidak hanya meluncurkan program dari atas, tapi membuka ruang kolaborasi dari bawah. Mereka mendengar komunitas, mengajak pelaku untuk merancang bersama. Proses ini yang membuat hasilnya terasa lebih organik dan relevan. Pendekatan ini berbeda dari pola top-down yang umum kita temui. Di Bandung, kreativitas bukan hanya produk ekonomi, tapi juga jembatan sosial dan identitas kota.