Beberapa bulan sebelum pandemi menyandera hampir seluruh dunia, saya memiliki kesempatan berkelana ke beberapa wilayah di China dan menyaksikan bagaimana layanan keuangan non-cash telah menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat. Hanya dengan bermodalkan ponsel, orang-orang bisa membeli gorengan di kaki lima, para petani bisa membeli pupuk, menerima kucuran bantuan modal atau kredit, menjual hasil pertanian.
Seorang teman di China mengatakan teknologi fintech telah membantu para pedagang kaki lima, nelayan dan petani kecil untuk bertransaksi, untuk mengakses pinjaman atau bantuan modal, dan untuk menabung.
Kini kita bisa memahami mengapa China menjadi negara paling tangguh dari sisi ekonomi menghadapi guncangan krisis yang dibawa oleh pandemi.
Sekalipun memiliki penduduk terbanyak di dunia dengan geografi yang sangat luas, pemerintah China dapat menyalurkan bantuan, stimulus ekonomi dan berbagai program pemulihan dengan sasaran yang tepat, menjangkau masyarakat hingga ke lapisan terbawah karena mereka memiliki akses keuangan, baik melalui lembanga keuangan konvensional (bank) maupun melalui fintech. Akses terhadap layanan keuangan ini lazim disebut sebagai inklusi keuangan dan China telah menggapainya hampir 100 %.
Di Indonesia upaya-upaya meningkatkan inklusi keuangan telah dimulai secara lebih serius sejak tahun 2016. Pada pengertian formal, inklusi keuangan diartikan sebagai kondisi di mana setiap anggota masyarakat mempunyai akses terhadap berbagai layanan keuangan formal yang berkualitas, tepat waktu, lancar, dan aman dengan biaya terjangkau sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing (Perpres No. 82 Tahun 2016).
Dengan menggunakan defenisi tersebut sebagai patokan, OJK melakukan survei nasional pada tahun 2019 yang menunjukkan tingkat inklusi keuangan Indonesia sebesar 76,19%.
Kendati terdapat peningkatan signifikan dari tahun 2016 (67,8 %), inklusi keuangan Indonesia masih tergolong rendah, bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN seperti Singapura (98 %), Malaysia (85%), bahkan Thailand (82 %).
Peluang Besar di Masa Pandemi
Upaya untuk mengejar ketertinggalan Indonesia di bidang inklusi keuangan dapat menemukan momentum terbaik di masa pandemi ini dengan memaksimalkan dana bantuan sosial (bansos) dan bantuan sejenis yang nominalnya meningkat tajam di masa pandemi ini.
Jika pemerintah mengubah semua skema bantuan sembako atau bantuan dalam bentuk barang lain, menjadi bantuan uang dan disalurkan melalui lembaga-lembaga keuangan, masyarakat akan lebih terdorong untuk membuat rekening bank atau membuat akun layanan fintech atau akses keuangan lain. Langkah ini akan memberi keuntungan ganda.
Pertama, meminimalisir korupsi bantuan sosial karena akan langsung dikucurkan ke penerima tanpa perantara (middle man). Sejak masa Reformasi, tercatat sudah ada 3 menteri sosial yang masuk penjara karena korupsi, banyak kepala daerah dan birokrat lain juga menghadapi masalah hukum karena penyelewengan bansos.