Di tengah gemerlapnya janji-janji masa depan yang cerah, pendidikan seringkali dianggap sebagai satu-satunya tiket menuju kesuksesan. Orang tua dan siswa berlomba-lomba mengejar gelar setinggi mungkin, berharap pintu-pintu karier terbuka lebar. Namun, realitanya tak seindah ekspektasi. Data menunjukkan bahwa lulusan perguruan tinggi, bahkan dari kampus ternama, tak luput dari bayang-bayang pengangguran. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: jika pada akhirnya gelar tak menjamin pekerjaan, lalu apa tujuan pendidikan yang sebenarnya? Narasi yang ada seolah-olah mereduksi makna pendidikan hanya sebatas persiapan kerja, mengabaikan esensi yang lebih dalam, seperti pembentukan karakter, pengembangan pemikiran kritis, dan pencarian makna hidup. Kegagalan sistem saat ini untuk menyelaraskan antara output pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja memaksa kita untuk kembali merenungkan, sudahkah kita memahami tujuan pendidikan?
Melihat permasalahan ini, kita perlu mengkaji tujuan pendidikan tidak hanya dari satu sudut pandang saja, melainkan dari sisi filsafat pendidikan yang lebih komprehensif. Kajian ini akan dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu studi teoritis (pendekatan yang berfokus pada pengembangan konsep, ide, dan teori) dan studi praktis (berfokus pada penerapan teori dalam situasi nyata), untuk membedah tujuan pendidikan yang terbagi menjadi tiga sifat (Power, 1982): Tujuan yang bersifat Inspirational, Analytical, Preskriptif, dan Investigatif.
Secara Teoritis
Tujuan yang bersifat Inspirational
Seperti yang dikemukakan oleh Edward J. Power, tujuan yang bersifat Inspirational adalah "to express utopian ideal for the formal and informal education of human beings". Ini adalah dimensi yang paling luhur, berfokus pada cita-cita pendidikan yang dicita-citakan. Tujuan ini melampaui kurikulum atau metode pengajaran, melainkan berorientasi pada idealisme dan pembentukan karakter. Tujuannya bukan untuk membuat siswa pintar, melainkan untuk membuat mereka bijaksana. Pendidikan ideal adalah yang mampu membimbing manusia untuk mencapai kesempurnaan diri, baik secara intelektual, spiritual, maupun moral. Ini adalah ranah di mana pendidikan dilihat sebagai proses pembebasan batin, yang sejalan dengan gagasan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan yang memerdekakan.Â
Tujuan yang bersifat Analytical
Tujuan yang bersifat Analytical berfokus pada "to discover and interpret meaning in educational discourse and practice" (Power, 1982). Filsafat pendidikan analitikal berusaha mengurai dan menginterpretasi makna di balik istilah-istilah pendidikan. Ia adalah alat untuk memastikan bahwa setiap konsep, seperti "kurikulum", "keberhasilan", atau "kualitas", memiliki definisi yang jelas dan logis. Tanpa analisis yang mendalam, kita bisa terjebak dalam jargon tanpa makna. Tujuan analitikal mendorong kita untuk bertanya, "Apa sebenarnya arti dari 'lulusan berkualitas'?" atau "Bagaimana kita bisa mengukur 'keberhasilan' pendidikan secara objektif?". Ini adalah fondasi yang kokoh untuk membangun argumen dan kebijakan pendidikan yang rasional.
Tujuan yang bersifat Preskriptif
Tujuan ini bersifat normatif dan praktis, dengan fokus pada "to give clear and precise directions for educational practice with a commitment to their implementation". Tujuan ini tidak hanya mendefinisikan apa yang harus dilakukan, tetapi juga bagaimana cara melakukannya. Tujuan ini adalah jembatan antara teori dan praktik. Ia memberikan petunjuk tentang tujuan dan metode pendidikan yang seharusnya diimplementasikan. Menurut Herbart dan Hutchins, metode pengajaran harus didasarkan pada psikologi, yang menunjukkan bahwa tujuan preskriptif tidak hanya berorientasi pada aturan, tetapi juga pada pemahaman mendalam tentang bagaimana manusia belajar.
Tujuan yang bersifat Investigatif