Amerika Serikat kembali memperketat tekanan terhadap Iran dengan menerapkan sanksi baru yang menyasar sektor minyak, tulang punggung ekonomi negara tersebut. Langkah ini diumumkan oleh Departemen Keuangan AS pada minggu ini sebagai bagian dari strategi "maximum pressure" yang sudah dijalankan sejak era pemerintahan Donald Trump dan terus dilanjutkan oleh pemerintahan Joe Biden.
Sanksi terbaru ini menargetkan lebih dari selusin perusahaan dan individu yang terlibat dalam jaringan ekspor minyak Iran. Pemerintah AS menuduh jaringan ini membantu Teheran menghindari sanksi dan menghasilkan miliaran dolar pendapatan yang digunakan untuk mendanai aktivitas "destabilizing" di kawasan Timur Tengah, termasuk mendukung kelompok-kelompok militan.
Dalam pernyataannya, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menegaskan bahwa sanksi ini merupakan bentuk komitmen Washington untuk mencegah Iran mendapatkan sumber pendanaan bagi program nuklirnya dan aktivitas militernya. "Kami akan terus menindak siapa pun yang membantu Iran mengelak dari sanksi kami," ujar Blinken.
Sektor energi Iran memang menjadi sasaran utama sejak AS keluar dari perjanjian nuklir Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada 2018. Meski Iran masih berhasil mengekspor minyak ke beberapa negara, termasuk Tiongkok, sanksi-sanksi ini mempersempit ruang gerak Tehran di pasar global.
Selain menargetkan perusahaan perantara, sanksi baru juga mencakup kapal tanker yang digunakan untuk mengirim minyak secara diam-diam, serta entitas yang berperan dalam memproses pembayaran dan pencucian uang. Dengan langkah ini, Washington berharap bisa menekan volume ekspor minyak Iran ke titik terendah dan memperlemah perekonomian domestiknya.
Sementara itu, pemerintah Iran mengecam sanksi ini sebagai "tindakan ilegal" dan menilai bahwa kebijakan AS hanya akan memperburuk ketegangan regional. Namun, analis memprediksi Iran akan terus mencari celah untuk mengekspor minyak melalui jalur bayangan (shadow fleet) dan metode barter.
Dengan sanksi baru ini, AS menegaskan kembali pendekatan "maximum pressure" sebagai strategi utamanya terhadap Iran. Meski menimbulkan ketegangan diplomatik, Washington yakin kebijakan ini akan memaksa Iran kembali ke meja perundingan dan membatasi kemampuan negara itu dalam mengembangkan senjata nuklir maupun mendukung proksi bersenjata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI