Beberapa waktu lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data bahwa ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,11 persen pada kuartal I tahun 2025. Sebagai mahasiswa ekonomi pembangunan, saya tentu mengapresiasi capaian ini. Di atas kertas, angka itu menunjukkan bahwa Indonesia masih bergerak positif, bahkan di tengah situasi global yang tidak pasti.
Tapi di sisi lain, saya juga mendengar keluhan dari masyarakat sekitar saya—mulai dari sopir ojek online, pedagang kecil, hingga teman-teman saya sendiri yang masih sulit mendapatkan pekerjaan. Pertanyaannya kemudian muncul: pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu, sebenarnya dirasakan oleh siapa?
Dalam mata kuliah Ekonomi Pembangunan yang saya pelajari, ada satu hal yang selalu ditekankan: pertumbuhan ekonomi bukanlah tujuan akhir, melainkan jalan menuju kesejahteraan yang merata. Jadi, ketika ekonomi tumbuh tapi masih banyak masyarakat yang merasa tertinggal, kita harus bertanya: apakah pembangunan kita sudah inklusif?
Kita juga belajar bahwa pertumbuhan tanpa pemerataan bisa menjadi bumerang. Ketimpangan sosial, pengangguran terselubung, hingga urbanisasi yang tak terkendali bisa muncul sebagai dampaknya. Sayangnya, gejala-gejala ini mulai terlihat di sekitar kita. Di balik bangunan mewah dan pusat perbelanjaan baru, masih banyak anak muda di desa-desa yang kesulitan mengakses pendidikan dan pekerjaan layak.
Pembangunan ekonomi seharusnya tidak hanya dinilai dari seberapa tinggi angka PDB, tetapi juga dari seberapa rendah angka kemiskinan, seberapa merata akses layanan publik, dan seberapa besar masyarakat merasa diperhatikan.
Pemerintah memang telah mengupayakan berbagai kebijakan: dari hilirisasi industri, bantuan sosial, hingga digitalisasi UMKM. Namun, menurut saya, program-program tersebut masih perlu diperkuat agar bisa menyentuh masyarakat akar rumput. Misalnya, akses permodalan untuk petani dan pelaku UMKM masih sering tersendat, atau kualitas pendidikan vokasi belum cukup untuk menjawab kebutuhan pasar kerja.
Sebagai mahasiswa ekonomi pembangunan, saya percaya bahwa pembangunan sejati bukan sekadar menumbuhkan angka, melainkan memberdayakan manusia. Karena itu, penting bagi kita untuk terus mengawal arah pembangunan agar benar-benar mencerminkan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen memang layak diapresiasi. Tapi pertanyaan yang lebih penting adalah: sudahkah pertumbuhan itu membuat rakyat hidup lebih sejahtera?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI