Mohon tunggu...
Putri Rizky
Putri Rizky Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pecandu kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seduhan Teh Paling Sempurna

15 Agustus 2013   09:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:17 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Punya lighter?”

Pagi ini dia muncul dan mengacaukan kebiasaan pagi saya untuk selalu sarapan sendirian. Call me weird, tapi saya terlanjur jatuh hati dengan ‘kerajaan’ serba sendiri yang saya ciptakan ini. For me, it is always nice to live solitarily. Beruang, harimau, orangutan, kuda nil, semuanya dikenal sebagai penyendiri ulung. Dengan hidup soliter, tak ada lagi ruang yang perlu kita sisakan untuk dibagi. Selamat tinggal juga untuk toleransi, yang seringnya kita sisihkan atas nama tak enak hati.

Bagaimana bisa orang-orang itu membiarkan hidup mereka bersinggungan terlampau dalam dengan yang lainnya?

Sebelum tuntas kepala saya menemukan jawaban, biji mata kami sudah lebih dulu bertabrakan.

Dia tertawa. Tawa persis sama dengan yang dipecahkannya semalam di muka pintu kamar saya.

“Kamar 811?” tanyanya, ketika jarum dari jam tangan yang saya letakkan di meja sisi tempat tidur nyaris melampaui angka sebelas.

Entah setelah ketukan di bidang pintu yang ke berapa, saya akhirnya memang terbangun dan menatap dia sebal dengan wajah bekas tertimbun bantal.

“Apakah Anda perlu saya kirim ke taman kanak-kanak lagi untuk bisa membaca nomor yang tertempel di pintu?” Saya mengantuk luar biasa dan sedang tak punya selera bercanda, tapi saat itulah tawanya menghambur ke udara.

“Saya nggak merokok,” jawab saya menanggapi pertanyaan soal pemantik apinya, dengan wajah tak senyalang semalam. Entah sebagai sinyal damai atau lantaran aroma tubuhnya yang, emmm.. menyenangkan, kali ini wajah saya terbubuhi senyuman.

Betul. Mungkin mata saya belum berada dalam kondisi paling tajam, tapi penampilannya jauh lebih segar ketimbang semalam. Di perjumpaan kedua kami, dia memilih paduan celana jins biru gelap dengan kemeja flanel bermotif kotak-kotak warna cerah yang lengannya sudah digulung hingga ke siku. Rambutnya pendek rapi setengah basah, sementara di pipi dan dagunya saya temukan bintik-bintik halus cambang, hasil bercukur dua hari sebelumnya (karena for me, it is the best time to see your scratchy-faced partner, saat cambang mulai ‘nongol’ lagi dan menciptakan aksen paling maskulin).

Dan melengkapi suguhan Tuhan yang tengah menjulang di hadapan saya ini, ada bibirnya yang semerah seperti baru terpoles sikat gigi. Remahan tawanya tadi, tertinggal menjadi seulas senyum yang mustahil saya hindari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun