Hari-hari berlalu, perilaku Rani semakin sering menunjukkan kemunafikan. Ketika Dewi mendapat nilai tertinggi di kelas, Rani berkata dengan manis,
“Hebat ya kamu, Dew. Aku bangga punya sahabat sepintar kamu.”
Namun, di balik layar, Rani mengeluh kepada teman lain, “Guru pasti pilih kasih sama Dewi. Mana mungkin dia sepintar itu. Aku yakin dia rajin cari muka.”
Kabar itu akhirnya sampai ke telinga Dewi. Awalnya Dewi tak percaya, tapi semakin lama semakin banyak teman yang membenarkan. Hati Dewi sakit. Ia merasa dikhianati.
Suatu sore, di bawah pohon mangga belakang sekolah, Dewi memberanikan diri menegur Rani.
“Ran, aku mau tanya sesuatu. Kenapa kamu bilang hal-hal buruk tentang aku di belakang? Aku dengar sendiri dari beberapa teman.”
Rani terkejut, wajahnya pucat. “Siapa yang bilang? Mereka bohong, Dew. Aku kan selalu dukung kamu.”
Dewi menatapnya tajam. “Ran, jangan bohong lagi. Aku tahu kamu suka bilang aku norak, sok pintar, bahkan cari muka. Kenapa kamu nggak jujur aja di depanku?”
Rani terdiam sejenak. Ia menunduk, mencoba menyusun kata. “Aku… aku cuma iri sama kamu, Dew. Kamu selalu dapat perhatian, nilai bagus, semua orang suka sama kamu. Aku… aku takut kalah.”
Dewi menarik napas panjang. “Ran, kalau kamu iri, kenapa harus pura-pura jadi sahabatku? Kenapa harus pakai topeng manis? Itu yang bikin aku kecewa. Lebih baik kamu jujur daripada munafik.”
Air mata Rani jatuh. “Maafkan aku, Dew. Aku salah. Aku terjebak dengan rasa iri sendiri.”