Â
Ya Allahu Robbi ba Tuhan kito,
Nabi Muhammad penghulu kito.. oi sahabat
Tolan sudaro assalamualaikum ka panonton basamo..
Â
Minangkabau merupakan salah satu etnis di Indonesia yang kaya dengan ragam tradisi lisannya. Suryadi (1998: 1) menerangkan bahwa tradisi lisan ini berakar kuat dalam kebudayaan Minangkabau. Orang Minangkabau dalam perjalanan sejarahnya telah terbiasa menurunkan cerita dari mulut ke mulut. Pewarisan budaya Minangkabau dari generasi ke generasi lebih banyak bersifat lisan. Para peneliti sejarah pun mengatakan bahwa kesulitan mereka dalam menyusun sejarah Minangkabau juga disebabkan oleh karena masyarakatnya ini hampir tidak meninggalkan bukti-bukti tertulis sebelum kedatangan bangsa Barat.Â
Tradisi lisan yang hidup dan berkembang hampir di seluruh wilayah budaya Minangkabau salah satunya adalah tradisi salawaik dulang. Tradisi salawaik dulang ini berkembang di hampir seluruh wilayah Minangkabau, baik darek maupun pasisia. Orang darek menganggap tradisi ini adalah tradisi mereka, dan orang pasisia pun demikian. Mereka memiliki grup salawat andalan dari daerah mereka masing-masing. Grup-grup ini pada waktu-waktu tertentu akan bertemu dalam suatu pertandingan salawat dulang. Masing-masing grup mendendangkan teks mereka secara bergantian. Ketika sebuah grup tampil, dalam dendang mereka ada pertanyaan yang harus dijawab oleh grup yang akan tampil selanjutnya.
Salawaik dulang merupakan salah satu kesenian tradisional Minangkabau yang tumbuh dari perpaduan antara seni, budaya, dan spiritualitas Islam. Kata salawaik berarti semacam tempat sajian makanan atau nampan besar, dan dulang juga merujuk pada wadah berbentuk bulat dari logam atau kayu, biasanya digunakan untuk menyajikan makanan. Kesenian ini diperkirakan mulai berkembang pada abad ke-19 di daerah Luhak Nan Tigo (Agam, Tanah Datar, dan Lima Puluh Kota), seiring dengan kuatnya penyebaran agama Islam oleh para ulama Minangkabau. Salawaik Dulang awalnya lahir dari surau-surau sebagai media dakwah yang membungkus pesan keagamaan dalam bentuk yang puitis dan musikal. Para ulama menyadari bahwa dakwah akan lebih mudah diterima bila disampaikan melalui seni yang menyentuh hati.
Â
Pertunjukan salawaik dulang tidak bisa dilakukan di kedai (lapau) atau lapangan terbuka seperti halnya seni tradisi Minang lainnya (saluang, rabab, dan lainnya). Salawat dulang hanya dipertunjukkan di tempat yang dipandang terhormat oleh masyarakat Minang, sep-erti mesjid atau surau karena menyampaikan dakwah. Meskipun pertunjukan baru akan dimulai setelah Salat Isya, tetapi semenjak siang hari tempat akan berlangsungnya pertunjukan sudah dipersiapkan dan dihias. Salah satu yang disiapkan oleh panitia acara adalah tempat duduk bagi tukang salawat saat berdendang yang lebih ditinggikan dari penonton. Biasanya dibuat seperti panggung kecil (stage) yang disebut pale-pale, dialasi kasur dan dilengkapi dua bantal. Pale-pale dibuat dengan bambu atau kayu dengan ukuran panjang dan lebar kira-kira pas untuk duduk dua orang, yaitu panjang 120---150 cm dan lebar 60---90 cm.