Secara sosial dan budaya, kegiatan dakwah melibatkan manusia dan pranata-pranata sosial serta keagamaan yang dikelola oleh manusia. Dakwah melibatkan subjek yang berdakwah (da'i) dan objek yang didakwahi (mad'u), keduanya adalah manusia. Jadi, dakwah merupakan aktivitas besar manusia yang berkaitan dengan wilayah, sumber daya, dan kekuasaan.
Seperti halnya politik, dakwah sudah ada sejak lama, yakni sejak adanya tugas dan fungsi yang harus dilakukan manusia di bumi. Dakwah memiliki banyak spektrum, ada yang memandangnya sebagai keharusan rasional, sosial, dan budaya. Sementara yang lain memandangnya sebagai kewajiban teologis terkait pahala dan dosa.
Terdapat tiga paradigma terkait hubungan dakwah dan politik, yaitu simbiotik, integralistik, dan instrumentalistik. Paradigma simbiotik memandang dakwah dan politik saling membutuhkan secara timbal balik. Dakwah membutuhkan politik agar dapat berkembang, dan politik membutuhkan dakwah agar berada dalam bingkai etika dan moral. Paradigma integralistik memandang adanya integrasi antara dakwah dan politik, di mana politik merupakan lembaga dakwah. Sedangkan paradigma instrumentalistik memosisikan politik sebagai alat untuk pengembangan dakwah.
Penentuan paradigma yang digunakan dalam politik dakwah disesuaikan dengan situasi dan kondisi objek dakwah pada waktu tertentu. Secara praktik, politik dakwah lebih tepat disebut sebagai taktik dakwah, seperti pendekatan, strategi, dan metode yang berbeda saat berdakwah di desa atau kota. Politik dakwah dinilai efektif jika didukung oleh faktor internal (da'i) dan eksternal (perilaku masyarakat, media, situasi politik, ekonomi, dan hukum).
Penulis: Syamsul Yakin dan Putri Maharani, Selaku Dosen dan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.