1908, kerusuhan besar dan perdebatan kritis terjadi di kalangan perempuan. Berbagai bentuk penindasan dan ketidaksetaraan perempuan mendorong perempuan untuk lebih aktif dan vokal dalam menyuarakan perubahan. Sebanyak 15.000 perempuan berbaris di New York menuntut jam kerja yang lebih pendek dengan gaji yang lebih baik serta hak pilih. Hal ini memicu keluarnya gagasan terkait perayaan tentang hari perempuan. Seratus enam puluh tahun kemudian, tepatnya pada 8 Maret 2017, perempuan kembali mendapat sebuah 'apresiasi' dengan diperingatinya Hari Perempuan Internasional atau International Woman's Day.Â
Perempuan selalu menjadi topik hangat untuk diperbincangkan. Perjalanan perempuan memiliki kisah yang begitu melimpah di tengah era digitalisasi ini. Stigma sumur, dapur, kasur telah terlewati lebih dari satu abad silam. Ia R.A. Kartini, sejak 1899 memberi kode dan tanda bahwa kaum perempuan Indonesia memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Patriarki sedikit demi sedikit terbungkam. Perempuan membuktikan kekuatannya dengan tajuk emansipasi.Â
Kebebasan perempuan dalam mengenal dunia luar, khususnya dalam dunia pendidikan menjadi surga duniawi bagi kaum hawa. Tindasan yang terjadi selama ratusan tahun tentang perempuan sebagai makhluk yang tidak diutamakan untuk mengenal dunia perlahan luntur. Persoalannya sekarang adalah bagaimana para perempuan memanfaatkan kebebasan tersebut dan bagaimana bentuk realisasi dari emansipasi yang digadang-gadang oleh R.A. Kartini dalam kehidupan bermasyarakat saat ini. R.A. Kartini merupakan salah satu tokoh penggerak emansipasi wanita. Emansipasi adalah proses pelepasan diri dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekaran hukum yang membatasi kemungkinan individu untuk maju dan berkemabang. Emansipasi perempuan yang dilakukan R.A. Kartini adalah untuk memperoleh kebebasan otonomi, persamaan mendapatkan pendidikan dan pengajaran, serta persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas.
Faktanya sebelum Hari Perempuan Internasional dirayakan di Indonesia, tepatnya Sabtu, 4 Maret 2017 lalu, ratusan perempuan yang tergabung dalam berbagai organisasi nirlaba dan para aktivis perempuan menggelar Women's March di depan Istana Negara. Mereka menuntut ketidakadilan yang masih menjadi polemik dalam kehidupan perempuan di tengah-tengah masyarakat. Aksi ini membuktikan bahwa diskriminasi terhadap perempuan masih berjalan hingga sekarang. Padahal seharusnya perempuan telah mendapatkan tempat yang setara dengan laki-laki.Â
Bentuk protes yang diagendakan adalah pencabutan 400-an perda yang mengekang perempuan. "Komnas Perempuan menyebut ada sekitar 400 lebih perda di seluruh Indonesia yang isinya benar-benar menganggap perempuan bukan warga negara penuh. Harus begini, harus begitu. Bahkan kalau di Aceh, nggak boleh mengangkang kalau naik motor. Itu kan terserah perempuannya. Regulasi-regulasi muncul akhir-akhir ini betul-betul memandang perempuan bukan sebagai warga negara penuh," kata Musdah. Ia juga mengkritisi pernyataan menteri yang ingin mencabut perda tersebut, tetapi tidak diimplementasikan. Jika hal ini terus dibiarkan, Indonesia bisa menjadi negara yang berada di bawah negara Taliban, di mana kaum perempuan tidak boleh berada di ruang publik.
Pencabutan perda masih menjadi angan para peserta Women's March. Namun, kehidupan terus berjalan. Peningkatan kualitas masing-masing individu khususnya perempuan tetap harus ditingkatkan. Bukti-bukti prestasi yang ditorehkan para perempuan secara otomatis akan menjawab kegelisahan dalam hal pengakuan di berbagai bidang. Â Perayaan Hari Perempuan Internasional seakan menggenapi jawaban tentang kerja keras perempuan dalam konteks penyetaraan ke
dudukan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI