Malam itu, seperti biasa, saya mampir ke warung kopi langganan di pinggiran kota. Bukan karena kopinya istimewa, tapi karena tempat ini terasa seperti rumah bagi keresahan banyak orang.
Di kursi plastik yang sudah usang, obrolan-obrolan berat keluar dari mulut-mulut yang tampak lelah oleh hidup. Seorang pemuda berkata, "Sarjana sekarang bukan jaminan kerja, bang. Lulus, pulang, jadi beban di rumah." Semua tertawa---pahit.
Lain waktu, topik bergeser ke proyek-proyek desa yang katanya menyerap tenaga kerja. "Tenaga kerjanya siapa? Ya itu-itu aja. Orang dalam, saudara sendiri," celetuk seorang bapak. Gelak tawa lagi, tapi penuh getir.
Warung kopi malam hari ternyata bukan cuma tempat ngopi. Ini semacam ruang sidang rakyat yang tak tercatat. Tak ada meja notulen, tak ada mikrofon, tapi semua bicara dari hati.
Di luar sana, angka-angka pengangguran mungkin tampak menurun. Tapi di sini, di meja-meja warung kopi, kenyataan terasa berbeda. Kami tahu, karena kami merasakannya.
Kami hanya ingin didengar. Bukan didikte.
Jadi, jangan salahkan kami jika warung kopi berubah menjadi ruang kritik. Karena mungkin cuma di sinilah kami merasa bebas berbicara, sebelum kembali ke kenyataan esok pagi.
Karena kenyataan tak semanis kopi.
#WarungKopi #NgopiMalam #SuaraRakyat #Pengangguran #RealitaSosial #KritikSantai #CeritaKopi #OpiniRakyat
Bagaimana pendapat kamu tentang warung kopi sebagai ruang jujur rakyat?