Mohon tunggu...
Putra Dwipayana
Putra Dwipayana Mohon Tunggu... Seniman - Penulis jalanan

The Will to Power

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tumpek Wariga: Alam yang Termuliakan

22 Mei 2021   01:01 Diperbarui: 25 Mei 2021   00:11 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ada suatu kemapanan atas pemahaman dari pengetahuan dan pandangan dunia manusia Bali dalam rasio yang hidup dan berlaku pada jamannya. Keterjalinan dalam suatu ruang antara manusia dan alam selalu menjadi bentuk primeritas setiap individu. Begitulah kurang lebihnya kehidupan masyarakat Bali pada waktu itu.

Karakteristik kehidupan agraris menjadi hal sentral dan penting dalam kesehariannya, terbukti sampai sekarang terefleksi pada perilaku ataupun praktik religius masyarakat Bali merepresentasikan karakteristik agraris. Hingga hal ini sampai sekarang dapat disaksikan dalam berbagai ritual yang megah dan bahkan ada tampilannya sesederhana mungkin tanpa mengurangi makna yang hadir di dalamnya.

Perjalanan historis yang panjang, ritual-ritual tersebut berinovasi dalam ruang dan waktu mengikuti dinamika zaman sehingga hadir sebagai sintesis yang lebih baru dan mapan, tanpa menegasi nilai-nilai yang ditinggalkan sebagai spirit atas wujud tatanan budaya di tanah Bali. Relasi manusia Bali dengan alamnya tampak pada aktivitas religiusitas keseharian maupun ritual yang bersifat insidental. Banyak diantaranya sudah mengetahui tentang salah satu rerahinan yang dikenal bagi sebagian masyarakat Bali sebagai "otonan untuk tumbuh-tumbuhan (entik-entikan)". Begitulah umat Hindu di bali secara umum menyebutnya.

Tidak asing bagi sebagian orang mengetahui perihal rerahinan ini atau dalam bahasa keagamaannya dikenal dengan Tumpek Wariga, Tumpek Uduh, Tumpek Pengarah, dsb. Rerahinan ini jatuh pada hari sanicara keliwon wuku wariga sesuai dengan penanggalan Bali atau banyak diantaranya menyebutnya dengan dina selae Galungan (25 hari sebelum hari raya suci Galungan). 

Umat Hindu melakukan aktivitas ritual atau upacara sebagaimana layaknya yang tertuang dalam manuskrip klasik (lontar) salah satunya tercatat dalam teks Sundarigama, serta mengikuti adat dan kebiasaan dalam suatu teritorial wilayah (desa adat).

SesungguhnyaTumpek Wariga merupakan satu diantara sekian banyaknya rerahinan yang dimiliki oleh umat Hindu di Bali. Tampak secara empiris dalam perilaku religius tersebut bagaimana orang Bali melakukan pemuliaan dan bahkan tampak menghormati terhadap ‘Pohon’ dengan memberikan haturan berupa banten (identik pada saat ini adanya bubur). Jika hal ini ditelisik lebih lanjut, teks Tattwa Japa Kala mungkin dapat memberikan jawabannya, apan manuśané měnyamě ring kayu, mwang ngidih urip ring taru, miwah amertthā mwang baktinin….” Artinya, sebab manusia bersaudara dengan kayu, serta meminta hidup pada pohon, kehidupan serta dihormati.


Kedekatan antara manusia dengan tumbuh-tumbuhan dapat dimengerti dengan kebutuhan oksigen yang menjadi kebutuhan primer dalam kehidupan manusia. Kesadaran mengenai pentingnya tumbuh-tumbuhan tidak hanya pada apa yang tampak sebagai perilaku luarannya saja, tetapi ada hal yang lebih bersifat tak kasat mata untuk perlu dipahami sebagai bagian dari kehidupan. Sampai saat ini perilaku tersebut masih berlangsung sebagai bagian dari pemuliaan tradisi leluhur yang mengandung suatu ungkapan penting dibalik tindakan ritual tersebut. Sehingga dapat diungkap tentang bagaimana orang Bali memahami keberdaan dirinya sebagai makhluk ekosentrisme yang mengerti bahwa alam sebagai pusat kehidupan. 

Kebergantungan akan keberadaan alam sebagai penyedia kebutuhan hidup menjadi titik tolak untuk selalu menghormati dan memuja alam dalam pemahaman pantheistik.  Artinya, manusia Bali memiliki pemahaman terhadap alam yakni mensubjekkan alam (alam ada-being-pada dirinya) dan bukan sebagai sesuatu yang liyan (the other). Tegasnya, bukan bertindak mengobjektifkan alam sebagai sebuah 'laboratorium' uji coba yang marak dilakukan masa kini untuk uji ilmu pengetahuan. Walaupun kehadiran globalisasi dan modernisasi (termasuk ilmu modern) tampak menyelimuti segala lini kehidupan dan bahkan kesadaran manusia pun terpengaruhi, hingga rasio yang progresif mengkonstruksi sebagian masyarakat untuk beralih profesi yang awalnya bergelut dengan budaya agraris menuju sektor yang lain seperti industri. Tetapi, pandangan kosmologi Bali tetap menghidupkan mitos-mitos dalam alam kebatinan masyarakat Hindu di Bali sebagai bagian yang memiliki intensitas mengenai pemuliaan, penjagaan, dan pelestarian alam lingkungan hidup. Sehingga menyebut yang utama dalam seluruh segi kehidupan masyarakat Bali adalah pemuliaan terhadap alam yang diwujudkan dalam bentuk pemujaan-pemujaan yang beragam jenisnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun