Mohon tunggu...
Putra Dewangga
Putra Dewangga Mohon Tunggu... Content Writer di SURYA.co.id

Hanya seorang penulis di media online

Selanjutnya

Tutup

Nature

Beruk di Dunia Digital, Dari Rantai Besi ke Layar Ponsel

8 September 2025   12:28 Diperbarui: 8 September 2025   12:28 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beruk (Macaca nemestrina) di habitat alaminya. (Sumber: Wikipedia Commons -- Domain Publik (foto oleh Blaise Droz, 2004, Taman Nasional Khao Yai). 

Dulu, pemandangan beruk (Macaca nemestrina) yang diikat dengan rantai besi di pasar satwa tradisional sudah cukup membuat hati miris. Kini, ironi itu bertransformasi dalam wujud baru: beruk tampil di layar ponsel sebagai "konten lucu" di TikTok, dipakaikan baju mungil, dipaksa menari, atau bahkan diperjualbelikan secara terang-terangan melalui grup Facebook. Dari pasar yang berbau anyir keringat dan darah, perdagangan beruk kini berpindah ke ruang digital yang penuh emoji dan tanda "like".

Indonesia, negeri dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia, ternyata masih menjadi ladang subur bagi praktik ini. Laporan YIARI (2023) mencatat bahwa perdagangan online satwa liar, termasuk beruk, terus meningkat dari tahun ke tahun, meskipun status mereka jelas dilindungi hukum. Fenomena ini menunjukkan bahwa perdagangan beruk bukan lagi sekadar urusan pasar gelap di sudut kota, tetapi juga soal algoritma media sosial yang memperkuat visibilitas, membentuk selera, dan pada akhirnya menentukan nasib satwa liar kita.

Selama puluhan tahun, rantai perdagangan beruk bermula dari hutan. Hewan ini diburu, ditangkap dengan jerat atau dibawa langsung oleh pemburu, lalu dijual ke pasar satwa tradisional. Di pasar-pasar itu, beruk dipajang di kandang besi, terikat rantai, dan ditawarkan kepada siapa saja yang berminat, baik untuk dipelihara, dilatih memetik kelapa, maupun untuk konsumsi. Jejak perdagangan konvensional ini masih bisa ditemui di beberapa daerah, meski keberadaannya makin tersisih oleh arus digital.

Memasuki era internet, wajah perdagangan berubah drastis. Media sosial dan aplikasi percakapan kini menjadi "pasar baru" yang jauh lebih sulit dikendalikan. Riset YIARI (2022) menemukan bahwa ratusan unggahan terkait penjualan satwa liar, termasuk beruk, masih mudah diakses di platform seperti Facebook dan Instagram. Modusnya beragam: dari akun pribadi yang menawarkan hewan secara terselubung, grup WhatsApp tertutup, hingga marketplace online dengan deskripsi samar.

Kasus yang diungkap Polres Aceh Utara pada 2021 menjadi contoh nyata. Seorang warga ditangkap karena memperjualbelikan beruk secara daring, dengan transaksi yang seluruhnya dilakukan melalui media sosial. Fakta ini menunjukkan bagaimana pasar satwa kini berpindah dari lapak terbuka menjadi jaringan digital yang lebih tersembunyi, sekaligus lebih berbahaya. Perdagangan yang dulu bisa diawasi secara kasatmata, kini bersembunyi di balik layar ponsel dan algoritma.

Konten Lucu, Nyawa Taruhannya

Di era media sosial, beruk sering muncul bukan lagi sebagai satwa liar penghuni hutan, melainkan sebagai "bintang konten lucu". Ada yang dipakaikan baju bayi, diberi botol susu, atau dipaksa menari mengikuti musik populer. Video-video semacam ini kerap viral di TikTok, Instagram, hingga YouTube, mengundang ribuan komentar dan tawa penonton. Sekilas tampak menghibur, tetapi di balik layar tersembunyi cerita pilu: beruk yang mengalami stres, terikat rantai, dan kehilangan habitat alaminya.

Fenomena ini bukan sekadar hiburan. Laporan Wildlife Impact (2021) mencatat bahwa tren konten satwa liar di media sosial berkontribusi pada meningkatnya permintaan hewan peliharaan eksotis, termasuk primata seperti beruk. Makin sering konten itu viral, makin tinggi pula minat masyarakat untuk memiliki satwa serupa, seolah-olah wajar menjadikan hewan liar sebagai "mainan rumah". Inilah bentuk normalisasi eksploitasi: kekerasan dibungkus humor, penderitaan dikamuflase dengan tawa.

Akibatnya, lingkaran perdagangan semakin kuat. Permintaan yang naik mendorong pemburu mencari lebih banyak beruk dari hutan, memutus ikatan sosial dalam kelompoknya, dan mengurangi populasi di alam. Padahal, beruk adalah satwa sosial yang memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Ironisnya, di dunia digital, nilai seekor beruk kini diukur bukan dari fungsinya di hutan, melainkan dari jumlah likes dan views yang bisa ia hasilkan.

Ekonomi Gelap dan Regulasi yang Kewalahan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun