Mohon tunggu...
Putra Rifandi
Putra Rifandi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang mahasiswa, yang ingin berbagi pemikiran melalui tulisan-tulisannya | http://www.putra.rifandi.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mengumbar Opini di Medsos Itu Juga Harus Cerdas

2 November 2016   06:16 Diperbarui: 4 November 2016   19:44 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hidup di negeri yang menjujung demokrasi seperti Indonesia ini harusnya disikapi dengan bijak oleh segenap warga negara Indonesia. Di tengah keterbukaan serta makin maju perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini, pola pikir setiap orang juga harus mengalami pendewasaan. Sah-sah saja kala orang mengeluarkan pendapat. Sah-sah saja orang mengumbar opini. 

Namun, tak jarang kita temui orang saat berpendapat “sak penak’e dhewe” di muka umum kemudian kita tanya atau kita sentil justru menimpali jawaban bahwa yang bersangkutan dilindungi UUD 1945. Lebih mencengangkan manakala yang bersangkutan dengan gaya kepandaiannya menjawab Pasal 28 UUD 1945. Sungguh memprihatinkan. Yaa..hal ini pernah penulis temui dan terlontar dari seorang pimpinan ormas sekaligus oknum mahasiswa di salah satu perguruan tinggi ternama.

Para pembaca yang budiman, memang secara konstitusional bahwa prinsip kebebasan atau kemerdekaan dalam mengeluarkan pikiran (baik dengan lisan maupun tulisan) ditetapkan oleh konstitusi kita, yakni Pasal 28 UUD 1945. Yaa, saya sengaja menggunakan kata “ditetapkan”, bukan “dijamin atau dilindungi”. Hal ini karena pasal 28 asli nyata-nyata berbunyi  “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.

Selanjutnya mari kita ulas. Jika kita cermati bersama atau kala kita mau membuka lembaran sejarah negeri ini, tepatnya saat meletus reformasi 1998, UUD 1945 mengalami amandemen. Pasal 28 UUD 1945 sama sekali belum memberikan sebuah jaminan konstitusional secara tegas dan langsung. Penggunaan kata “ditetapkan” dalam Pasal 28 UUD 1945 tak lebih hanya menyatakan akan ditetapkan dengan undang-undang. Sedangkan secara hierarki, UUD 1945 berbeda dengan Undang-Undang. 

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. Artinya, dalam sistem hierarki dan jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, UUD 1945 mempunyai kekuatan hukum tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Ingat, negara kita adalah negara hukum. Tafsiran atas hal ini jugalah harus berdasarkan tinjauan yuridis yang berlaku di negara ini, tidak tafsiran semaunya sendiri.

Para pembaca yang budiman, jika sekarang kita menarik sebuah garis atau benang merah, secara tegas maka kita harusnya sudah paham dan jelas, mau nggak mau kita harus satu kata, bahwa UUD 1945 tidaklah dapat dipersamakan dengan UU. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menempati hierarki ketiga setelah UUD 1945 dan Ketetapan MPR. Artinya, secara kekuatan hukum, UU berada di bawah UUD 1945 dan Tap MPR.

Para pembaca yang budiman. Kembali kepada persoalan Pasal 28 UUD 1945. Buah dari kurang tegasnya jaminan kemerdekaan berserikat (freedom of association) dan kebebasan berpendapat (freedom of expression) inilah yang pada akhirnya mendorong dilakukannya amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000 silam. Melalui Amandemen/Perubahan Kedua UUD 1945 inilah, jaminan konstitusional dimaksud tegas ditentukan dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Selanjutnya, persoalan yang kita hadapi sekarang justru muncul dari diri kita sendiri. Telah bijak kah kita menggunakan kebebasan berpendapat di negeri tercinta ini? Ataukah kita terlena dengan kebebasan yang diberikan oleh negara? Miris oh betapa miris, manakalah kita melihat segelintir (mungkin orang-orang terdekat kita) berpendapat semaunya sendiri tanpa sebuah latar belakang/argumentasi/alasan yang dapat diterima secara logika dan etis. 

Mengatasnamakan kebebasan berpendapat, si oknum dengan membabi buta menebarkan kebencian, menyuntikkan benih-benih pemecahbelah di kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Asal mencomot berita yang tidak jelas, tanpa sebuah verifikasi terlebih dahulu, atau bahkan tanpa pernah dibaca secara menyeluruh namun langsung dishare ke publik dengan dibumbui sebuah opini yang menyasar seorang atau sekelompok orang.

Mari, bersama kita menjadi kaum cerdas yang berpendapat. Berargumen yang dapat dipertanggungjawabkan serta menghindari upaya memecah belah dan menanamkan kebencian terhadap seseorang. Kalaulah yang membaca artikel saya ini adalah orang yang gagal “move on” atas hasil Pilpres 2014 kemarin, jangan tunjukkan kegagalan “move on”  Saudara di ruang publik. Malu lah. Belajarlah legowo menerima Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden. 

Sebagai warga negara yang baik, kita bantu dukung upaya pembangunan negeri ini. Kalaulah ogah turun tangan, setidaknya doa kita terlantunkan untuk pemimpin negeri ini agar diberikan kekuatan dalam menata dan membenahi serta upaya mensejahterakan negeri ini. Hindari jauh, sikap di mana sudah gak mau turun tangan, melantunin doa buat pemimpin negeri ini saja tidak mau, tapi hanya suka mencerca dan mencaci. Kalau Saudara beralasan bahwa opini yang lebih banyak cacian yang Saudara keluarkan itu adalah sebuah partisipasi dari Saudara, maka dengan artikel ini saya dorong agar Saudara untuk memperbaiki mutu dan kualitas opini Anda. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun