Berdasar pada penelitian (Maemunah, 2021) yang menyatakan bahwa pandemi Covid-19 mengharuskan anak belajar dari rumah, sehingga peranan orang tua dalam mendidik anak berada pada urutan pertama. Hal ini muncul dan menjadi budaya baru dalam dunia pendidikan. Orang tua harus membagi fokusnya antara pekerjana rumah dan tugas anak. Ponsel di pagi hari sudah dipenuhi dengan notifikasi Whatsapp dari wali kelas: "Assalamualaikum, Bapak/Ibu. Tugas anak-anak hari ini Tematik 6 halaman 35 yaa. Dikerjakan di buku tulis, setelah selesai tolong difoto dan dikirim via japri. Ditunggu sampai jam 3 sore."
Kalimat sederhana yang pastinya sudah dibaca oleh jutaan ibu di Indonesia selama pandemi ini berawal dari sebuah "revolusi senyap" di rumah kami. Pandemi Covid-19 berhasil memindahkan bangku sekolah ke layar ponsel. Hal ini membuat sebagian orang tua terpaksa menjadi guru, motivator, sekaligus 'admin kelas' karena harus mengirimkan foto atau video tugas anak kepada guru (Pratiwi & Abduh, 2022). Fenomena sepele "tugas difoto" ini merupakan puncak gunung es dari perubahan budaya belajar yang kita alami bersama.
Lahirnya "Culture Foto", saat Proses Belajar Cukup Diwakili Hasil Jepretan
Sebelum lahirnya pembelajaran daring, bukti anak belajar adalah buku yang pernuh coretan atau tinta merah pulpen yang menjadi tanda penilaian kertas ulangan. Namun, Â pandemi Covid-19 mengkonversi bukti gaya belajar menjadi sebuah file JPEG yang harus terkirim sebelum tenggat waktu. Inilah yang saya sebut sebagai "culture foto." Hasil temuan (Sari, 2021) menguatkan hal tersebut, bahwa tugas anak selama pandemi hampir selalu dibuktikan dengan foto, dan para ibu sering menjadi sosok di balik layar yang menyiapkan, memotret, hingga mengirimkan hasil kerja anak ke guru.
Satu sudut pandang menyatakan bahwa hal ini merupakan solusi praktis yang dapat mengefisiensi waktu penilaian tugas oleh guru. Namun, di sisi lain, kita kehilangan esensi sebenarnya dari belajar, yaitu indahnya sebuah proses. Apakah selembar foto bisa mewakili raut wajah bingung anak saat mencoba memahami soal? Apakah bisa menangkap momen "aha!" saat akhirnya ia berhasil menemukan jawaban setelah berkali-kali mencoba? Tentu saja tidak.
Hiruk Pikuk Tiga Profesi Ibu
Penelitian (Juliya & Herlambang, 2021) menemukan bahwa pembelajaran daring di masa pandemi kurang berjalan dengan efektif. Hal ini didasarkan pada faktor guru yang merasa kesulitan untuk memantau bagaimana anak benar-benar belajar. Biasanya tugas hanya dikirim melalui What'sapp dalam bentuk foto. Di balik layar kamera ponsel pada setiap tugas yang terkirim inilah, pastinya ada kerja keras seorang ibu yang perannya bercabang tiga:
- Sebagai Guru Dadakan:Â Menerjemahkan instruksi guru yang sulit dipahami, menjelaskan kembali materi dari video YouTube, hingga menyabarkan anak yang mulai bosan dan frustasi.
- Sebagai Operator Teknis dan Fotografer: Memastikan pencahayaan cukup agar tulisan terbaca, mencari suduk foto yang pas, memastikan hasil jepretan tidak buram, mengecilkan ukuran file foto sebelum dikirim. Belum lagi masalah spesifikasi ponsel yang terkadang lemot dan juga sinyal internet yang lemah.
- Sebagai Manajer Emosi: Inilah tugas terberat. Seorang ibu harus menjaga mood anak agar mau mengerjakan tugas, menenangkan diri sendiri agar tidak ikut stress, dan memastikan suasana rumah tetap kondusif untuk belajar dan bekerja.
Â
Pelajaran Berharga dari Sebuah Foto
Beruntungnya, kini sekolah telah kembali normal, era "tugas difoto" sudah mulai terlupakan. Namun, sejarah tesebut mengukir pengalaman berharga bahwa pentingnya peran orang tua dalam proses pembelajaran anak. Pandemi memaksa para orang tua untuk terjun lebih dalam, mengetahui apa saja yang dipelajari anak, apa kesulitannya, dan bagaimana karakter guru-gurunya.