Mohon tunggu...
Purnawan Kristanto
Purnawan Kristanto Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Penulis

Purnawan adalah seorang praktisi komunikasi, penulis buku, penggemar fotografi, berkecimpung di kegiatan sosial, kemanusiaan dan keagamaan. Menulis di blog pribadi http://purnawan.id/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Otak Dagang Mendagri Gamawan Fauzi

23 Juli 2010   08:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:39 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_202541" align="alignleft" width="300" caption="Sumber: http://politikana.com"][/caption] Biaya untuk menjadi kepala daerah itu sangat mahal. Meskipun nanti berhasil menang, belum tentu sang pejabat itu bisa mengembalikan biaya kampanye. Kira-kira seperti itulah yang diungkapkan oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Untuk menjadi seorang kepala daerah dibutuhkan uang miliaran rupiah, setelah menjadi kepala daerah dituntut untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Gamawan mengatakan, gaji gubernur sebesar Rp 8,7 juta per bulan, sedangkan gaji bupati sebesar Rp 6,2 juta. "Kalau menjadi seorang gubernur membutuhkan uang Rp 20 miliar, dengan gaji gubernur itu, butuh waktu berapa lama untuk mengembalikan uang Rp 20 miliar itu?" ungkap Mendagri (Kompas, 22 Juli). Pernyataan menteri ini bisa ditafsirkan secara nakal begini: Jika kepala daerah dituntut untuk menjalankan pemerintah yang bersih, mana mungkin ada orang yang mau menjadi kepala daerah. Kalau hanya mengandalkan gaji sebagai kepala daerah, secara matematis mustahil dia bisa balik modal. Pada kenyataannya, setiap pemilihan kepala daerah, masih saja ada orang-orang yang mendaftar dalam persaingan merebutkan kursi kepala daerah. Itu artinya, para kontestan itu melihat ada peluang mendapatkan manfaat atau keuntungan, di luar gaji yang dibawa pulang setiap bulan. Soal lain yang perlu dikaji, mengapa biaya kampanye berbiaya mahal? Untuk menggalang dukungan, sang kontestan harus merogoh koceknya dalam-dalam. Kalau perlu simpanan di bank dikuras dan aset-aset berharga dilego. Dia harus membiayai tim sukses, mengongkosi bensin untuk konvoi, mencetak poster,  menyediakan konsumsi. Itu belum termasuk  memberikan sumbangan kepada ormast yang tiba-tiba terbentuk dan menyatakan dukungan kepadanya. Kalau mau melihat seberapa besar peluangnya, maka dia juga perlu menyewa lembaga survei. Berbagai biaya itu menimbulkan pertanyaan: Apakah sang kontestan harus mengeluarkan biaya untuk semua itu? Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak. Jika kontestan itu cukup populer, mengakar dan memiliki basis pendukung yang nyata, maka ongkos kampanye bisa diminimalkan. Contoh nyata adalah walikota Solo, Jokowi dan walikota Yogyakarta. Herry Zuhdianto.  Berkat kinerjanya yang baik, akhirnya mereka bisa menjabat kembali sebagai walikota tanpa harus kampanye hura-hura dan berbiaya mahal. Akan tetapi jika seorang kontestan hanya mencoba peruntungan tanpa memiliki modal sosial yang besar, maka dia memang harus menyediakan basis finansial yang kuat. Hal ini tidak berkaitan dengan politik uang. Dalam perspektif pemasaran, kontestan tersebut harus menyediakan anggaran yang besar untuk membangun kesadaran masyarakat (public awarness) tentang keberadaaan dirinya. Soal berikutnya adalah paradigma pemilihan kepala daerah yang direduksi menjadi persoalan uang. Ongkos demokrasi memang mahal. Kalau tidak mau keluar biaya besar, maka pemerintah pusat sebaiknya mengamandemen UU Politik bahwa pemilihan kepala daerah dapat dilakukan dengan penunjukkan. Tapi jika ini dilakukan, maka terjadi kemunduran dalam kehidupan berdemokrasi. Di sisi lain, demokrasi juga bertalian dengan akuntabilitas. Biaya untuk demokrasi memang besar, tetapi bukan berarti harus berbiaya besar. Setiap pos anggaran penyelenggaran pemilihan harus dirancang dengan cermat dan dipertanggungjawabkan peruntukannya. Sementara itu, motivasi para kontestan juga perlu dicermati. Pernyataan menteri dalam negeri ini mencerminkan paradigma hitung-hitungan dagang masih menggelimang dalam pemilihan kepala daerah: Berapa biaya yang harus dikeluarkan? Berapa pendapatan yang akan diperoleh? Apakah ada selisih laba antara pendapatan dan pengeluaran? Mentalitas saudagar dalam politik ini tak terhindarkan karena sistem rekrutmen politik di indonesia yang masih acak kadut. Seseorang yang tidak dikenal, bisa saja tiba-tiba didukung sebagai kontestan oleh partai politik padahal belum sebulan menjadi anggota. Tentu saja setelah dia menyetorkan sejumlah uang ke parpol. Ini sudah menjadi rahasia umum. Idealnya, seorang calon pejabat publik merupakan kader parpol yang meniti karirnya dari bawah. Bukan kader yang lompat pagar. Dengan demikian, dia telah menghayati ideologi partai dan tahu benar apa yang akan diperjuangkannya. Inilah salah satu cara untuk mengurangi biaya kampanye yang gendut. Jika sebuah partai memiliki ideologi yang jelas dan membangun sistem kaderisasi yang rapi, maka partai itu tidak akan kekurangan stok calon pemimpin yang loyal, berdedikasi dan bervisi jelas. Sekali lagi, benahi partai politik di Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun