Kupatan bukan sekadar soal menyantap ketupat dan opor. Dalam filosofi Jawa, ketupat berasal dari kata "ngaku lepat" yang berarti mengakui kesalahan. Ini adalah simbol lanjutan dari proses saling memaafkan dan refleksi diri setelah Ramadan.
Di berbagai pelosok desa Tulungagung, kupatan dirayakan dengan kenduri bersama, doa bersama di masjid, dan sedekah bumi. Ketupat dibawa dari rumah-rumah, dilengkapi lauk-pauk tradisional seperti sayur lodeh, tempe bacem, dan sambal goreng. Anak-anak pun ikut meramaikan dengan permainan tradisional atau lomba di lingkungan sekitar.
Tradisi yang Mempererat, Budaya yang Memanusiakan---Lebaran di Tulungagung bukan hanya tentang merayakan Idul Fitri, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat menyatu dalam tradisi, kekeluargaan, dan nilai luhur budaya lokal. Dari takbir keliling yang bergema, dentuman mercon yang membahana, hingga kupatan yang meneduhkan, seluruh rangkaian ini menunjukkan bahwa di balik semaraknya perayaan, tersimpan makna solidaritas dan spiritualitas yang mendalam.
Di tengah perubahan zaman, masyarakat Tulungagung terus menjaga warisan ini. Selama masih ada semangat gotong royong, saling memaafkan, dan mencintai budaya sendiri, maka Lebaran di Tulungagung akan selalu menjadi waktu yang dinanti---waktu di mana tradisi dan kekeluargaan benar-benar menyatu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI