Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah fondasi bagi keberhasilan bangsa di masa depan. Pada pundak merekalah kelak peradaban ini diwariskan. Dunia anak-anak ibarat taman yang penuh dengan bunga harapan, di mana setiap senyum adalah matahari yang menerangi masa depan. Seiring waktu berjalan, anak-anak di desa kini tak lagi bermain engklek, congkak, engrang ataupun petak umpet di halaman menjelang sore. Mereka sudah asik dengan televisi, tablet dan handphone di rumahnya masing-masing. Teknologi digital seperti gawai, internet, media sosial, dan game online kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Lebih miris lagi banyak orang tua setuju dan merasa tenang anaknya dengan gawai asalkan tetap di rumah daripada anak-anaknya bermain bola di lapangan, mencari belut di sawah atau bermain petak umpet bersama teman-temannya. Ternyata digitalisasi pada anak terjadi tak hanya di kota-kota besar tapi juga merambah ke peloksok desa. Anak-anak menjadi lebih tertarik pada gudget daripada berbagai permainan tradisonal. Desa yang harusnya menjadi akar rumput pelestari budaya kini mulai pupus tergerus modernisasi.
Sebuah kalimat dari Radhar Panca Dahana seorang sastrawan dan budayawan yang  wafat empat tahun silam telah menampar saya untuk mempelajari lebih dalam tentang kearifan lokal. Beliau mengatakan bahwa "kearifan lokal adalah jalan pulang ketika kita tersesat dalam modernitas yang membingungkan." Kalimat ini mengingatkan kita bahwa di tengah arus kemajuan zaman yang cepat, kompleks, dan sering kali mengaburkan nilai-nilai dasar kehidupan, kearifan lokal hadir sebagai penuntun untuk kembali pada akar budaya dan jati diri kita. Saat kemajuan teknologi digital membawa perubahan fundamental dalam pola hidup anak-anak kita, kearifan lokal dapat menjadi penyeimbangnya.
Era digital membuat semuanya serba cepat, praktis, dan penuh distraksi. Informasi mengalir tanpa batas, dan batas antara benar dan salah, baik dan buruk, sering kali menjadi kabur. Akses internet yang luas dan penggunaan gawai sejak usia dini telah menciptakan lingkungan yang penuh informasi namun minim penyaringan nilai. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 mencatat jumlah pengguna gadget untuk anak usia dini di Indonesia sebanyak 33,44%, dengan rincian 25,5% pengguna anak berusia 0-4 tahun dan 52,76% anak berusia 5-6 tahun. Hal ini beresiko memicu kecanduan gadget, anak-anak yang menghabiskan terlalu banyak waktu di depan layar sering kali mengalami berbagai masalah, meliputi kesehatan fisik seperti gangguan tidur, gangguan mata, obesitas hingga masalah psikologis seperti kecemasan. Mereka juga bisa menjadi anti sosial, mengalami kesulitan dalam bersosialisasi hingga terjadi penurunan perkembangan karakter.
Ditengah gelombang digitalisasi yang semakin kuat saya berpandangan bahwa pendidikan karakter menjadi sangat mendesak untuk ditanamkan sejak usia dini. Masa golden age (0-6 tahun) anak merupakan waktu terbaik dalam penanaman nilai-nilai karakter. Pendekatan yang relevan dan kontekstual dengan menggali dan mengintegrasikan kearifan lokal dalam proses pendidikan merupakan salah satu solusi yang tepat. Kearifan lokal mengandung norma, etika, dan pandangan hidup yang telah teruji dalam menjaga harmoni sosial, lingkungan, dan spiritual masyarakat secara turun-temurun. Negara kita kaya akan budaya dan tradisi yang sangat potensial menjadi sumber dalam pendidikan karakter. Namun, pertanyaannya adalah bagaimana peran kearifan lokal ini dapat tetap relevan dan efektif dalam membentuk karakter anak di tengah gempuran teknologi dan digitalisasi anak?
Kearifan lokal mengandung pengetahuan dan nilai-nilai yang lahir dari pengalaman hidup suatu masyarakat dalam berinteraksi dengan lingkungan sosial dan alamnya. Mencakup adat istiadat, tradisi, seni, bahasa, mitos, cerita rakyat, hingga filosofi hidup. Misalnya, prinsip Tri Hita Karana di Bali, Tritangtu di Sunda yang mengajarkan harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan. Hal ini mengajarkan anak untuk taat pada Tuhannya, cinta terhadap sesama dan penjagaan terhadap alam sekitar. Selain itu ada  Piagam Nagari di Minangkabau yang menekankan musyawarah dan mufakat dalam menghadapi setiap permasalahan. Di masyarakat Sunda juga terdapat nilai-nilai seperti silih asih, silih asah, silih asuh (saling menyayangi, saling mengajari, saling menjaga) yang menanamkan rasa solidaritas dan empati sejak dini. Demikian pula dalam budaya Jawa dikenal konsep unggah-ungguh atau sopan santun sebagai bentuk penghormatan terhadap sesama dan yang lebih tua. Nilai -nilai tersebut dapat dijadikan penerang di tengah arus globalisasi dan derasnya kemajuan teknologi informasi.
Saya berpandangan, tantangan terbesar kita di tengah derasnya kemajuan teknologi adalah tergerusnya interaksi sosial langsung dan kurangnya keteladanan dari lingkungan sekitar. Anak-anak lebih sering berinteraksi dengan layar daripada dengan keluarga, teman, guru, atau masyarakat. Nilai-nilai seperti kerja sama, empati, tanggung jawab, dan kesopanan mulai terkikis karena didominasi oleh budaya instan, individualisme, dan konsumtif yang disebarkan secara masif di dunia digital.
Salah satu contoh kearifan lokal yang telah tergeser oleh perkembangan teknologi adalah permainan tradisioanal. Â Permainan tradisional menjadi tak lagi dikenali anak-anak. Selain semakin berkurangnya lapangan bermain anak faktor lainnya menurut saya adalah terputusnya komunikasi antara orang tua dan anak. Orang tua tidak mengenalkan adanya permainan tradisional tersebut. Padahal permainan tradisional seperti engklek, petak umpet, atau egrang bukan sekadar hiburan, melainkan media pembelajaran untuk merawat ideologi, nilai sosial dan budaya. Anak belajar tentang kerja sama, keadilan, sportivitas, serta mengelola emosi ketika menang atau kalah. Hal ini penting untuk membentuk kecerdasan sosial dan emosional anak di era yang semakin kompetitif dan individualistis. Tergesernya permainan tradisional oleh permainan modern telah membawa perubahan prilaku pada anak. Anak-anak yang kecanduan game menjadi kurang produktif dan lebih mudah emosi. Survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 2023 mencatat, lebih dari 71,3% anak usia sekolah memainkan gadget dalam waktu cukup lama dan 79% orang tua tidak menerapkan peraturan penggunaan gadget kepada anak.
Dalam kondisi seperti ini, kearifan lokal berfungsi sebagai jangkar moral yang menahan anak dari arus destruktif digital. Pendidikan karakter berbasis kearifan lokal dapat menanamkan akar budaya yang kuat, sehingga anak tidak kehilangan arah dan identitasnya. Nilai-nilai ini menjadi bagian dari identitas kolektif masyarakat dan berperan sebagai pedoman dalam berperilaku, yang didalamnya terdapat sumber nilai moral yang konkret, mudah dipahami, dan kontekstual dengan kehidupan sehari-hari. Kearifan lokal sarat akan nilai moral dan dapat diajarkan kepada anak-anak sejak usia dini. Melalui cerita rakyat, permainan tradisional, pepatah atau peribahasa kita dapat mengajarkan anak-anak tentang kejujuran, tanggung jawab, hormat kepada orang tua, dan kerja sama. Misalnya, dalam cerita Malin Kundang, anak diajarkan konsekuensi dari durhaka terhadap ibu. Atau dalam Si Kabayan, ada pelajaran tentang pentingnya berpikir kritis dan sederhana dalam hidup. Besar harapan saya agar kearifan lokal dapat masuk dalam kurikulum sekolah dan dijadikan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran. Misalnya, dalam mengajarkan unsur matematika pada tingkat PAUD bisa menggunakan permainan congkak ataupun engklek. Dalam pelajaran sains, anak bisa belajar dari pengetahuan lokal tentang pengolahan tanaman herbal (jamu) sehingga membuat pembelajaran menjadi lebih menarik dan bermakna.
Agar kearifan lokal berperan optimal dalam membentuk karakter anak di era digital, diperlukan strategi yang sistematis dan kolaboratif. Sekolah dan keluarga dapat bekerja sama dengan masyarakat, budayawan, dan komunitas lokal untuk menghadirkan praktik budaya secara langsung. Misalnya, mengadakan workshop membatik, tarian tradisional, atau mengunjungi kampung adat. Lingkungan tempat anak tinggal kampung, desa, ataupun kota harus dapat dikembangkan menjadi ruang belajar yang mendukung pembentukan karakter. Festival budaya, lomba cerita rakyat, pentas seni lokal, dan kegiatan gotong royong bisa menjadi sarana pembentukan karakter yang menyenangkan dan kontekstual. Dengan mengintegrasikan kearifan lokal ke dalam pendidikan formal dan nonformal, kita tidak hanya membentuk anak yang berkarakter baik, tetapi juga membangun generasi yang memiliki akar budaya kuat, mampu beradaptasi dengan zaman, dan tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Pengembangan aplikasi edukasi berbasis cerita rakyat, animasi budaya, serta mengemasnya secara kreatif melalui media digital, seperti digitalisasi naskah kuno, cerita rakyat dan lagu daerah, hingga permainan edukatif bertema lokal dapat menjadi solusi kreatif dalam membumikan kearifan lokal di era digital.