Di tengah hiruk pikuk suara mesin berat dan debu yang mengepul di lokasi pertambangan, seringkali kita melupakan satu hal fundamental yakni bumi ini bukan milik kita seutuhnya. Bumi ini hanya kita "pinjam" dari generasi mendatang.
Oleh karena itu, ketika Pemerintah, melalui Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, kembali menyuarakan dorongan untuk Tata Kelola Tambang Berkelanjutan, kita harus menyambutnya bukan hanya sebagai regulasi, tetapi sebagai keharusan etis yang sudah seharusnya dilakukan sejak lama.
Mengingat Generasi Berikutnya, Bukan Sekadar Untung Jangka Pendek
Pernyataan Menteri Bahlil dalam sambutannya di Minerba Convex 2025, Rabu 15 Oktober 2025 yang menekankan  "Sumber daya alam kita, tambang kita dalam pengelolaannya jangan kita pikir dihabiskan sekaligus. Kita harus ingat bahwa ada generasi berikutnya, sehingga kita harus lakukan pengelolaan dengan baik, dengan lingkungan yang baik, serta proses-proses yang sesuai dengan aturan berlaku."
Ini adalah sebuah pengingat yang menohok. Filosofi menambang seringkali terperangkap dalam mentalitas keuntungan jangka pendek. Padahal, kekayaan sumber daya alam (SDA) kita adalah warisan yang harus dijaga.
Isu keberlanjutan dalam pertambangan tak bisa lagi sekadar tempelan. Tapi juga harus mencakup siklus hidup tambang secara total, dari awal perizinan (pra-tambang) hingga penutupannya (pasca-tambang). Di sinilah peran kunci dari reklamasi disorot.
Reklamasi, bukan pilihan, tapi kewajiban yang mengembalikan nyawa lahan. Inilah yang ditegaskan Bapak Menteri dengan menyebut reklamasi sebagai syarat wajib bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP). Ini bukan hanya soal menanam bibit di lahan kering, tetapi upaya serius untuk "mengembalikan nyawa" ekosistem yang telah terganggu.
Kita semua tahu, bekas galian tambang seringkali meninggalkan luka menganga di bumi. Reklamasi adalah janji untuk menyembuhkan luka itu. Komitmen nyata ditunjukkan oleh pemain besar seperti MIND ID, yang pada tahun 2024 berhasil mereklamasi 7.200 hektare lahan. Angka ini patut diapresiasi, sebab realisasi ini lebih besar dari tahun sebelumnya 2023 sebesar 6.700 (Ha).
Ini adalah bukti bahwa aktivitas ekonomi yang masif (menambang) harus berjalan seiring dengan tanggung jawab ekologis. Keberlanjutan bukan menghambat daya saing, justru menjadi fondasi daya saing jangka panjang.
Namun, bicara keberlanjutan tidak melulu soal menanam pohon. tapi juga tentang tata kelola yang bersih dan berintegritas.
Pandangan Penasihat Khusus Presiden Bidang Energi, Purnomo Yusgiantoro, sangat relevan, industri pertambangan rentan terhadap korupsi, transparansi yang lemah, dan budaya etika yang belum kuat.
Di sinilah kerangka kerja ESG (Environmental, Social, and Governance) menjadi penting.
ESG menuntut perusahaan tambang tidak hanya patuh pada aspek Lingkungan (Environmental), tetapi juga bertanggung jawab secara Sosial (Social), dan dikelola dengan tata kelola yang baik dan transparan (Governance).