"Sosok cinta pertama yang tak ada duanya?
Bapak."
Iya itu jawabannya. Ketika aku membaca notifikasi bahwa Kompasiana mengajak kompasianer untuk menceritakan hubungannya dengan sosok ayahnya, aku sedang duduk disamping bapakku, aku langsung mencoba mengingat-ingat,
"Apakah bapak pernah marah ya?"Â
Dan memoriku sulit menangkap hal itu. Laki-laki yang hangat kepribadiannya dan selalu aku kagumi itu, tak pernah sekalipun mengangkat suaranya dan membuat aku sebagai anak perempuannya ketakutan. Bukan berarti bapakku tak pernah marah, hanya saja cara ia mendisiplinkan anak perempuannya cukup berbeda.Â
Ia akan memilih diam daripada berteriak marah padam. Ia yang selalu mengajak berbicara dengan posisi sejajar daripada menunjuk-nunjuk dan menjatuhkan harga diri anak perempuannya agar sadar.Â
Ia yang figurnya begitu aku idamkan. Entah mengapa, ketika ditanya aku ingin mendapat pendamping hidup laki-laki seperti apa, aku ingin yang seperti bapakku.
Kalau dibilang dalam sebuah hubungan keluarga ada api dan ada air, maka sosok bapak aku lihat lebih berperan sebagai air. Eits, bukan berarti ibuku adalah sosok apinya, namun aku memahami bahwa antara bapak dan ibuku memiliki pola asuh yang berbeda. Aku memiliki kakak laki-laki, dan ia lebih dekat dengan ibu, dan aku lebih dekat dengan bapak.Â
Aku merasa lebih mendapatkan sosok teman berbagi ketika bercerita dengan bapak. Ketika ada permasalahan kehidupan, menceritakan riuh dunia perkuliahan, kuceritakan ke bapak. Bahkan kalau aku sedang di Malang, bisa saja kita teleponan berjam-jam untuk sekadar aku berbagi beban. Kalimat serta selorohnya yang ringan selalu aku rindukan.
Kalau dengan ibu, barangkali ia lebih memandang sesuatu dari sisi seorang perempuan. Iya perempuan, dimana perasaan yang sering didahulukan daripada pikiran. Termasuk aku sendiri, aku terkadang seringkali gegabah dalam mengambil keputusan, memandang sesuatu tidak menyeluruh dan setelahnya membuat masalah baru.Â
Itu semua, tak akan selesai bila diceritakan kepada ibu. Mendengar anak perempuannya punya kesusahan, pasti ia akan menangis dulu, resah, kepikiran, kalut, bingung mencari solusi, dan akhirnya menambah beban masalah baru.Â