Mohon tunggu...
Puguh Sudarminto
Puguh Sudarminto Mohon Tunggu... -

Seorang guru biasa. Bisa ditemui di www.labpuguh.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sertifikasi Pendidik dan Pemerintahan Baru

6 November 2014   23:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:26 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Teaching is the one profession that creates all other professions”

-Unknown-

Semenjak program sertifikasi pendidik digulirkan di era presiden SBY, profesi guru mulai mendapat tempat yang terhormat di hati masyarakat. Dengan memberikan tunjangan profesi, pemerintah mulai menempatkan guru pada tempat yang seharusnya. Selain itu, pemerintah juga berharap kualitas mereka meningkat. Adigum, “Guru pahlawan tanpa tanda jasa” sudah tidak relevan lagi untuk digaungkan.

Satu langkah awal yang patut mendapatkan apresiasi setinggi tingginya. Namun seperti kata pepatah, “tiada gading yang tak retak”, program sertifikasi ini mempunyai banyak lubang di sana-sini. Selain problem masalah teknis, yakni penyaluran TPP yang selalu ngendat (meski saya belum bersertifikasi J, namun fakta ini banyak ditemui dilapangan) program sertifikasi menghasilkan disparitas yang cukup jauh terutama dalam lingkaran abdi negara, baik PNS antar guru maupun bukan yang akhirnya menimbulkan rasa ketidakadilan.

Disparitas Sertifikasi Pendidik

Pertama, Disparitas eksternal. Sertifikasi pendidikan memunculkan efek berantai di kalangan PNS. Beberapa Institusi mulai memberlakukan system remunerasi. Sistem remunerasi diberikan bagi PNS structural-fungsional selain Departemen Pendidikan. Sistem remunerasi dan sertifikasi saat ini menimbulkan disparitas yang mencolok.

Sistem remunerasi hampir tidak mensyaratkan apapun bagi PNS yang bersangkutan. Sedangkan sertifikasi pendidikan mensyaratkan banyak hal. Para guru harus berjibaku agar bisa mendapatkan sertifikat pendidik,mulai dari penataan berkas-berkas, mengikuti pelbagai seleksi, PLPG yang melelahkan hingga harus mengikuti ujian kelulusan.

Kedua, Disparitas internal. Pada awalnya pemerintah menggunakan metode portofolio untuk menentukan sertifikasi pendidik, namun dalam perjalananya metode ini tidak efektif hingga akhirnya pemerintah menggunakan system seperti saat ini yang di dalamnya mewajibkan calon peserta mengikuti pelbagai proses seleksi. Puncaknya peserta harus mengikuti PLPG dan Tes.

Sistem ini bagus, namun lagi-lagi dalam perjalanannya tolak ukur dalam penentuan calon sertifikasi tidak jelas dan masih bersifat subyektif belaka. Tolak ukurnya hanya dilihat dari kuantitas saja (saya sengaja tidak menggunakan kata pengalaman, karena saat ini perspektif “pengalaman” hanya diukur dari aspek seberapa lama orang tersebut mengajar, padahal factor ini bisa dimanipulasi J ) dan mengkesampingkan aspek kualitas.

Celakanya banyak (saya tidak mengatakan semuanya) diantara peserta yang lolos mengikuti PLPG hingga mendapatkan sertifikat pendidikan plus TPP kualitasnya sama saja dengan guru yang belum bersertifikasi, bahkan dengan guru yang baru menjalani profesi seumur biji jangung. Kondisi ini menimbulkan disparitas internal (antar pendidik). Belum lagi dalam masalah jumlah TPP yang didapat antar guru PNS dan non PNS.

Pemerintahan Baru

Masyarakat khususnya kalangan pendidik mempunyai harapan besar bagi pemerintahan baru Joko Widodo-Jusuf Kalla. Pemerintahan baru saat ini mewarisi gagasan mulia dari pemerintahan sebelumnya, tinggal melakukan banyak perbaikan terutama bagaimana pemerintah bisa menghilangkan disparitas yang muncul dengan adanya sertifikasi pendidik tersebut.

Jika Disparitas itu tetap muncul, maka rasa ketidakadilan akan terus muncul dan saya yakin, tujuan pemerintah mengadakan sertifikasi pendidik ini agar kualitas guru meningkat akan sulit terwujud.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun