Mohon tunggu...
Pudji Widodo
Pudji Widodo Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Kesehatan Militer.

Satya Dharma Wira, Ada bila berarti, FK UNDIP.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cium] Mata Ganti Mata, Gigi Ganti Gigi

16 Maret 2019   18:12 Diperbarui: 22 Maret 2019   05:03 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber foto : www.tangerangtribun.com, 9 September 2017).

Bacaan sebelumnya :

https://www.kompasiana.com/elfat67/5c89b7407a6d884479462884/cium-bara-api-ciuman-semalam

"May, masih ada waktu untuk membuktikan aku tetap milikmu", Sam meminta.
"Biarkan aku pulang".

May yang semula keras hati merenggangkan pelukan.  Pergulatan fisik  memuaskan libido berganti pergulatan batin yang cemburu.  Sebersit kesadaran tiba-tiba merasuk jiwanya, lelaki itu milik dua perempuan dan harus berbagi. Biarlah pulang, toh May yakin Sam tak bisa lepas dari jeratnya. Sejenak mereka berpagut bibir di balik pintu sebelum Sam meninggalkan kamar hotel.

Hanya ada Leksi dan pembantu ketika Sam sampai di rumahnya.

"Mami ke rumah sakit, dede muntah dan hidungnya berdarah Pi" Leksi anak sulungnya memberi tahu Sam sebelum Sam bertanya mengapa rumah sepi. Pembantu rumah melengkapi informasi bahwa sebelum ke IGD, Sita telah menelepon dokter Azis.  Sam tahu dimana Sita dan Diki berada. Spesialis anak, dr. Azis yang selama ini mengetahui riwayat kesehatan Diki sejak lahir pasti punya alasan mengapa memberi nasehat kepada Sita agar langsung membawa Diki ke IGD rumah sakit terdekat.
"Diki sudah masuk PICU" kalimat singkat dari WA Sita, yang entah kenapa tak mau menerima telepon Sam. Justru dr. Azis yang bisa dihubungi dan meminta Sam segera menemuinya di PICU. Ya Allah, kenapa dengan anakku, mendadak muncul ketakutan Sam akan kehilangan anak keduanya.

Di ruang tunggu PICU, didapatinya Sita yang kelopak matanya sembab. Mereka berpelukan, suasana yang paradoks dengan pelukan penuh erangan syahwat semalam,  kini yang ada dingin berpadu isakan.  Mereka  bergandeng tangan masuk ke ruang perawatan. Sesal selalu muncul belakangan ketika dr. Azis menjelaskan resiko kegagalan fungsi multi organ, akibat "Dengue Shock Syndrome" (DSS) yang diderita Diki. Pemeriksaan serial trombosit terus menurun, pemeriksaan laborat parameter fungsi organ juga tidak baik.  Hasil pemeriksaan imunologinya jelas menunjukkan virus dengue yang menjadi biang keladi Diki terserang Demam Berdarah Dengue (DBD) dan berlanjut menjadi DSS dalam tempo yang cepat. Dokter Azis menjelaskan, fase akut DBD adalah pada minggu pertama, selama itu dengan terapi standar bisa membaik karena DBD tergolong Self limited disease atau sebaliknya memburuk menjadi DSS yang mengancam jiwa.


Sam meraba tungkai anaknya, dingin seperti es, bukan karena pendingin ruangan. Kolapsnya pembuluh darah  menyebabkan sulit memasang infus dengan cara biasa menusuk jarum infus ke kulit. Dokter bedah harus menggunakan metoda Vena Sevtie, mengiris kulit dan mencari pembuluh darah balik dekat mata kaki kanan Diki sebagai jalan masuk jarum infus. 

Kolapsnya pembuluh darah karena darah  dan cairan pengisi rongga pembuluh darah bocor keluar berpindah menuju jaringan sekitarnya. Paru-paru Diki terbenam cairan dan membuat pernapasannya menjadi sesak. Penjelasan dr. Azis seperti pisau menusuk relung hati Sam, dua malam dilaluinya bersama May yang menguras tenaganya, sementara anaknya dalam dua puluh empat jam terakhir tanpa pelukan papinya, tak berdaya dengan cepat masuk ke fase kritis DSS. Sehari kemudian Diki mengalami penurunan kesadaran akibat gangguan metabolisme jaringan otak.

Seminggu berlalu, Sam terpekur di meja kafe paling sudut. Tak lama kemudian, May sudah bergabung di meja itu. Ini adalah kali pertama pertemuan mereka sejak mereka berpisah di hotel. Sengaja Sam meminta mereka bertemu di Kafe ini.
"Maafkan aku" May lirih mengucapkan duka cita dan meletakkan tangannya di punggung tangan Sam. Biarpun nafsu memiliki pria ini demikian menggebu, naluri perempuannya  tetap ada iba menyaksikan Sam yang kuyu setelah kepergian Diki, yang tak terselamatkan. DSS merenggut nyawa bocah lucu itu pada hari ketiga rawat inap di PICU.
"Terima kasih atas pengertianmu May".
"Aku akan tetap menyertaimu Sam"
"Aku tetap milikmu" Sam menukas cepat, saat May mulai merasa ada yang bergejolak di lambungnya.
"Aku mual", Kopi yang dinikmatinya belum habis ketika May beranjak ke toilet kafe dan tak pernah bisa keluar lagi.
Mata ganti mata, gigi ganti gigi, nyawa ganti nyawa. Kesedihan akibat kepergian Diki membuat Sam tak mampu berpikir jernih, cinta berubah menjadi dendam. Pekerjaan sehari-harinya membuat Sam tak mengalami kesulitan mendapatkan arsen untuk mengakhiri hidup May.

Tamat.

* PICU : Paediatric Intensive Care Unit

Bendungan Hilir, 16032019.

Cerita sebelumnya baca : [Cium] Bara Api Ciuman Semalam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun