Mohon tunggu...
Febrian Arham
Febrian Arham Mohon Tunggu... pegawai negeri -

alumni DIII STAN' 04, (harusnya) DIV STAN' 08

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ekonomi Terbesar ke-10 Dunia VS Kampanye Jokowi-Prabowo

9 Mei 2014   12:11 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:41 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Tidak bisa dipungkiri kekuatan Ekonomi RI sekarang, dengan pendapatan (ketergantungan) pajak dan utang Negara yang kecil, menatap ke depan untuk menjadi Negara dengan ekonomi terbesar di dunia.

Riset World Bank baru-baru ini yang menyatakan perekonomian RI sebagai Negara dengan perekonomian terbesar ke 10, loncat 6 peringkat dari survey tiga tahun sebelumnya, seharusnya membukakan mata warga negaranya untuk berani ber”adat” kepada sesamanya dengan nilai positif.

Tidak oleh lembaga sembarangan, riset oleh World Bank ini adalah mungkin riset paling terpercaya dan termampu, sesuai dengan jaringan pembuatan keputusannya, untuk memperingkatkan ekonomi dunia.

Dengan jangkar pikiran bahwa Negara maju adalah Negara yang telah lama exis yang menyebabkan mereka lah seharusnya Negara-negara dengan perekonomian terbesar di dunia, riset yang menampilkan Negara-negara berkembang seperti China, Brazil, India, termasuk Rusia hingga akhirnya Indonesia memiliki perekonomian yang lebih besar daripada Negara-negara seperti Perancis, Inggris, Eropa atau Negara-negar-eropa lainnya, adalah agen perubahan yang menggantikan jangkar lama tersebut.

Nilai-nilai lama yang akhirnya menggerus jangkar lama seperti kenyataan bahwa negara-negara maju tersebut adalah Negara-negara yang “mentok” dengan utang besar negaranya, penduduknya yang relative sedikit, ketiadaaan sumber daya alam, serta pendapatan dari pajak yang sudah paling optimal, hendaknya dapat dijadikan pertimbangan untuk dapat diambil sisi positifnya yang merupakan kebalikan daripada variabel-variabel kementokan tersebut.

Kita dapat melihat bahwa terdapat ekstrimis-ekstrimis keuangan misalnya yang memandang sebaliknya bahwa utang Negara adalah dosa bagi bangsa untuk berkorelasi dengan ketidakbecusan pemegang privilese untuk mengelola Negara, yang dipercaya secara masif.

Mimpi utopia bahwa Indonesia adalah Negara kaya yang mampu terbebas dari utang misalnya adalah bentuk antisocial yang tidak sejalan dengan Negara-negara lain.

Pun protes kepada pelayanan pemerintah dan mengklaim sebagai pembayar pajak sementara mereka tidak membayar pajak dengan benar, bahkan tidak berkontribusi sebagai pembayar pajak.

Bahkan 9 negara di atas yang lebih besar dari Indonesia dari riset tersebut pun, kecuali Jerman dan Jepang yang relative lebih lama exis, tidak lebih baik dari Indonesia.

Benar bahwa terdapa disparitas yang mendalam antara yang kaya dan miskin di Indonesia. ada juga penyakit korupsi yang penekanannya adalah tidak disukai oleh pemangku kepentingan dari Negara lain.

tapi terkadang inilah yang terbaik yang dapat dilakukan oleh Indonesia. dan pengelolaan selama ini sudah merupakan cerminan pribadi bangsanya yang memiliki strata social yang jelas dan hubungan social yang geselschaft, ala Indonesia sendiri.

sementara dari 12 Partai politik yang menjadi mesin pembuatan keputusan berbangsa di Negara Indonesia, sekarang ini, kecuali partai baru, menghasilkan calon presiden RI yang sebelumnya tidak terlibat di pemerintahan yakni Jokowi melalui PDIP dan Prabowo melalui Gerindranya. Tidak ada yang lain.

Dan sayangnya pemberitaan mengenai hasil survey World Bank ini tidak mendapat publisitas yang seharusnya dalam hitungan hari pendelegasian hak rakyat Indonesia memberikan privilese kepada presiden pilihannya di Pemilu Presiden yang akan datang.

Tanpa keterlibatan Gerindra dan PDIP di pemerintahan selama 10 tahun terakhir “alam” pengeksekusian riset World Bank ini, prestasi loncat 6 peringkat mengalahkan kekuatan ekonomi Negara-negara besar dengan jangkar lama seperti Spanyol, Belanda, Australia dan lainnya, dengan persepsi baru dan masa adaptasi yang akan menyita energi, bisa jadi tidak terulang kembali.

Mudah-mudahan musuh bersama berupa disparitas pendapatan antara yang kaya dan yang miskin tidak akan membakar kekacauan di dalammasyarakat. Penduduknya yang besar tidak akan saling ingin memerdekakan diri, sumber dayanya yang mumpuni tidak akan tidak dibeli oleh Negara lain, pajaknya yang mulai terbuka tidak akan tertutup kembali, sementara semakin banyaknya penegakan hukum atas korupsi akan semakin dapat membedakan mana yang baik dan tidak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun