Mohon tunggu...
Mbah Priyo
Mbah Priyo Mohon Tunggu... Engineer Kerasukan Filsafat

Priyono Mardisukismo - Seorang kakek yang suka menulis, karena menulis bukan sekadar hobi, melainkan vitamin untuk jiwa, olahraga untuk otak, dan terapi kewarasan paling murah.

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar Pilihan

Teh dari Pagar: Keaslian yang Tak Bisa Dikemas

15 Oktober 2025   17:17 Diperbarui: 15 Oktober 2025   17:17 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pucuk teh, bahan teh putih - koleksi pribadi

Di banyak kampung di dataran tinggi Jawa, Sumatra, dan Sulawesi, ada satu kebiasaan lama yang hampir hilang: menanam teh di pagar. Bukan kebun teh luas yang rapi dengan barisan tanaman seperti tentara hijau, tapi pagar-pagar hidup di sekitar pekarangan, pematang, atau tepi kebun sayur. Dari situlah muncul istilah yang kini nyaris tak terdengar: teh pagar.

Teh pagar tumbuh tanpa rencana, tanpa pupuk, tanpa pestisida. Kadang tumbuh dari batang cangkokan yang dulu dibawa kakek dari kebun teh besar, lalu dibiarkan hidup begitu saja sebagai pagar alami. Tidak pernah disemprot, tidak dipangkas teratur, bahkan sering bercampur dengan tanaman liar lain. Namun dari daun-daun liar itulah muncul aroma dan rasa teh yang jauh lebih lembut daripada teh merek mana pun di pasaran.

Pekko: Daun Tunggal yang Tak Tergantikan

Rahasia teh pagar ada pada peko --- pucuk daun tunggal yang baru tumbuh dan belum mekar. Daun ini berwarna hijau muda keperakan, lembut seperti beludru. Di kebun industri, pucuk seperti ini biasanya ikut terpetik bersama daun lain untuk memenuhi target berat harian. Tapi di pagar, daun itu tumbuh perlahan, tanpa tekanan produksi. Ia menyerap udara pegunungan yang bersih, sinar matahari pagi, dan kelembapan tanah yang masih perawan.

Ketika daun peko ini dikeringkan secara sederhana --- dijemur atau disangrai ringan --- muncul aroma bunga liar yang halus, dengan rasa sedikit manis tanpa getir. Inilah yang disebut banyak orang tua dulu sebagai "teh putih alami". Bukan karena dibuat di pabrik teh putih, tapi karena benar-benar berasal dari daun termuda yang belum teroksidasi sempurna.

Jika diseduh air hangat, warnanya bukan cokelat pekat seperti teh hitam, melainkan keemasan bening. Rasanya ringan tapi dalam. Tidak menendang di lidah, tapi meninggalkan kesan bersih yang sulit dijelaskan. Orang kampung dulu bilang: teh pagar tidak bikin jantung berdebar, tapi bikin pikiran terang.

Merek Tak Bisa Menandingi Kejujuran Alam

Hari ini, pasar kita dipenuhi teh merek lokal. Ada yang mengaku teh premium, ada yang memakai nama gunung, ada yang diklaim hasil perkebunan organik. Namun kalau dicermati, tidak ada satu pun yang benar-benar menonjolkan cita rasa alami seperti teh pagar.

Sebagian besar teh yang dijual di pasaran sudah melalui proses panjang: fermentasi, pencampuran, dan penyeduhan ulang. Banyak yang kehilangan karakter asalnya. Daun teh dari berbagai daerah dicampur agar rasanya "konsisten", padahal yang hilang justru keunikannya.

Teh pagar tidak mengenal konsistensi. Rasanya selalu berbeda, tergantung cuaca, tanah, dan usia daun. Tapi justru di situlah kejujurannya. Ia tidak dibuat untuk pasar, hanya untuk dinikmati. Tak ada standar rasa, hanya kenangan akan kesegaran pagi di kampung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun