Setiap pagi selalu dimulai dengan satu ritual sederhana, tapi sakral: secangkir kecil espresso double shot racikan tangan sendiri. Bukan dari mesin espresso canggih, bukan dari kafe mahal beraroma vanilla dan jazz pelan di latar belakang.
Rahasianya sederhana --- dua sachet Nescaf Black tanpa gula, diseduh dengan air panas secangkir penuh. Harga totalnya cuma dua ribu rupiah. Tapi buatku, itulah investasi energi dan fokus terbaik yang pernah ada.
Setiap tegukan pertama seperti perintah booting system: mata terbuka, pikiran menyala, dan dunia mulai bergerak. Kopi hitam itu jadi "obat melek" sekaligus "sakelar" yang menyalakan mode penuh konsentrasi. Tak ada tambahan gula, tak ada manis-manisan --- hanya pahit yang jujur, keras, dan nyata.
Bagi sebagian orang, pahit itu tanda tak nyaman. Tapi buatku, pahit adalah kejujuran paling murni. Seperti hidup dan perjalanan panjang di dunia coding serta penulisan: tidak selalu manis, tapi selalu memberi hasil bagi yang mau bertahan.
Ritual yang Melahirkan Konsentrasi
Sudah 30 tahun aku menjalani ritual ini. Tiga dekade yang penuh malam panjang, pagi cepat, dan layar monitor yang bercahaya lebih lama daripada lampu kamar. Dari kopi inilah lahir ratusan modul aplikasi --- baris demi baris kode yang kuanggap seperti puisi teknis.
Setiap baris kode punya logika, setiap bug punya cerita, dan setiap perbaikan adalah kepuasan kecil yang tak tergantikan. Seperti secangkir kopi, setiap modul punya komposisi pas --- sedikit logika, sedikit kreativitas, dan sedikit kegigihan untuk mencari solusi yang tak langsung terlihat.
Di sela-sela coding, kopi itu tetap di sisi. Kadang sudah dingin, tapi tetap terasa nikmat. Kadang terlupa di pojok meja, tapi aromanya masih jadi pengingat: bahwa ide-ide besar sering lahir dari kesunyian dan fokus yang sederhana.
Bukan Sekadar Kopi, Tapi Simbol Disiplin
Bagi banyak orang, kopi mungkin cuma minuman. Tapi bagiku, ia simbol disiplin.
Disiplin untuk bangun lebih pagi ketika orang lain masih terlelap.
Disiplin untuk duduk di depan layar, menyusun logika program yang belum tentu berhasil.
Disiplin untuk terus menulis, bahkan saat inspirasi terasa kering.
Tak ada motivator yang membangunkanku. Tak ada seminar pengembangan diri. Hanya aroma kopi dan tekad untuk melanjutkan karya.
Kadang aku berpikir, kalau kesuksesan punya rasa, mungkin rasanya seperti kopi hitam: pahit di awal, tapi meninggalkan kenikmatan yang bertahan lama di lidah.