Mohon tunggu...
Priyanto Nugroho
Priyanto Nugroho Mohon Tunggu... lainnya -

"art is long, life is short, opportunity fleeting, experiment dangerous, judgment difficult"

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Kunci Kesaksian Pak Boed di Sidang Century

10 Mei 2014   04:58 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:40 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Boediono/kompasiana (Tribunnews/Dany Permana)

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Boediono/kompasiana (Tribunnews/Dany Permana)"][/caption]

“I don’t believe in panicking before it’s absolutely necessary but I came close to considering it on the morning of 7 October 2008”

“We had our disagreements, but at the height of the crisis a year later. When it was clear that drastic action was needed to recapitalize the banks, he did what was needed ... I was damned if our reputation was going to be destroyed over the failure of a small, reckless bank ... we had to regain control of events, no matter it took” (Alistair Darling, “Back from the Brink”, halaman 15)

Kutipan di atas saya ambil dari kesaksian mantan menteri keuangan Inggris, Alistair Darling, di buku: “Back from the Brink”, terbit tahun 2011. Buku ini menceritakan bagaimana ‘perasaan’ seorang pejabat negara saat menghadapi ancaman krisis di negeri yang menjadi ‘embahnya’ industri perbankan dan ‘moyang’ bank sentral.

Di buku itu terlihat bagaimana geramnya dia, terutama di periode 2007 - 2008, menghadapi kondisi perekonomian yang sulit, juga seringnya silang pendapat yang tajam dengan gubernur bank sentral dengan karakter sangat kuat, Mervyn King (saking melegendanya sampai dijuluki ‘the King of England’).

Juga bagaimana jengkelnya karena di waktu yang mendesak pada akhirnya harus ‘bergandengan tangan' mengambil kebijakan ‘luar biasa’ untuk menyelamatkan ekonomi negara, termasuk terpaksa harus membailout bank kecil yang dikelola sembarangan agar tidak muncul kepanikan yang bisa memperparah keadaan.

Situasi yang digambarkan itu, barangkali mirip yang dihadapi oleh Sri Mulyani (menteri keuangan) dan Boediono (gubernur Bank Indonesia) pada tahun 2008, terutama saat menyikapi risiko bangkrutnya bank Century, yang tergolong kecil bersamaan dengan datangnya ancaman merambatnya dampak krisis global ke perekonomian Indonesia.

Hal yang kemudian menjadi ‘cerita’ panjang, sampai dengan sidang bailout bank Century di pengadilan Tipikor, yang hari ini menghadirkan saksi Boediono dalam kapasitasnya sebagai gubernur bank sentral saat itu.

Meski terlihat semua sepakat dalam hal bahwa bank Century adalah bank kecil yang amburadul, namun tidak demikian halnya dalam hal penanganan atas bank tersebut di tahun 2008.

Tentunya, yang ingin dibuktikan di pengadilan adalah kebenaran materiil dari motif dibalik langkah menyelamatkan bank amburadul tadi. Benarkah alasannya untuk menyelamatkan perekonomian, ataukah ada motif koruptif dibaliknya. Dengan kata lain, dugaannya adalah bahwa penyelamatan bank Century saat itulah yang justru menunggangi keadaan!

Pencarian motif itulah yang coba diungkap dari Pak Boed sebagai saksi hari ini. Semua bukti, indikasi dan hal-hal untuk menjustifikasi dugaan motif itu yang ingin dibuktikan, termasuk ke para saksi yang dihadirkan. Bahkan, rekaman pembicaraan beberapa potongan rapat yang dianggap penting dan relevanpun diperdengarkan. Wajar tentunya, bila yang ditonjolkan adalah yang menjurus ke pembuktian dugaan.

Untuk menegaskan motif pencegahan krisis, saksi kembali mengilustrasikan sebagai ibarat harus memadamkan rumah preman di perkampungan padat. Lebih mengutamakan penghentian bahaya rambatan api ke sekelilingnya dari rumah yang terbakar, daripada menelisik siapa pemilik rumah yang terbakar.

Jalannya persidangan dengan menghadirkan saksi ‘high profile’ termasuk yang terlama, dari sekitar jam 8 pagi hingga malam. Pertanyaan jaksa penuntut, majelis hakim dan pembela mencakup pertanyaan yang bersifat ‘makro’ dan ‘mikro’, meski pada akhirnya yang mendominasi adalah persoalan-persoalan mikro sehingga argumen kepentingan penyelamatan ekonomi (makro) menjadi seringkali tenggelam dengan hal-hal teknis seperti akurasi perhitungan kecukupan modal (CAR) suatu bank, siapa yang menghitung, kapan data CAR tersedia, kecukupan nilai agunan, berapa CAR untuk bank yang sehat.

Untuk menggambarkan sulitnya menilai CAR sebagai indikasi suatu bank itu solvent dan sehat, bisa dilihat bagaimana tidak yakinnya otoritas AS menilai modal Lehman Brother yang beberapa hari sebelum dinyatakan bangkrut tanggal 15 September 2008 masih tercatat di pembukuan senilai 28 milyar dollar:

“Solvency should be a simple financial concept: if you are worth more than your liabilities, you are solvent. If not you are in danger of banckruptcy. But on the afternoon of Friday, September 12, 2008, experts from the country’s biggest commercial and investment banks met at the Wall Street offices of the Federal Reserve to ponder the fate of Lehman Brothers, and could not agree whether or not the 157-year-old firm was solvent. (Financial Crisis Inquiry Commission, ‘The FINANCIAL CRISIS INQUIRY REPORT’, Chapter 18 – September 2008 : The Bankruptcy of Lehman, page 324-325, January 2011)

Hal yang juga sangat sulit diterima awam adalah konsep mengenai asesmen dampak sistemik suatu bank, khususnya pada situasi yang dianggap tidak normal – yang dalam kasus bank Century terlihat bergantung pada aspek ‘psikologis’. Konsep yang memang tak mudah mencari rujukan penerapannya secara jelas di tempat lain. Untuk hal seperti ini, yang bisa ditemuka umumnya hanya prinsip-prinsipnya, sehingga yang lebih mudah terlihat adalah ketidakkonsistenan antara bahan analisis yang digunakan dengan kesimpulan pembahasannya. Rasanya, sampai saat inipun tidak ada rumus baku di dunia untuk menilai risiko sistemik, meskipun suatu lembaga internasional seperti BCBS (Basel Committee for Banking Supervision) belakangan memperkenalkan konsep ‘domestic systemically important bank’ (D-SIB) yang lebih dalam semangat untuk mengurangi dampak sistemik suatu bank gagal dengan menerapkan peraturan permodalan dan cadangan likuiditas yang lebih tinggi dari bank lain. Pendekatan inipun baru akan diberlakukan pada sekitar tahun 2016 nanti.

Tentu sulit seorang gubernur harus menjawab hal ‘teknis’ seperti ini, selain karena memang suatu konsep yang cukup rumit implementasinya, juga karena bukan merupakan hal baku yang gampang dicari rujukan penerapan konkritnya di tempat lain.

Bukan itu saja, tentu tak mudah meyakinkan bahwa kebijakan saat itu dilakukan dengan niat baik, pada situasi yang sudah sangat jauh berbeda.

Sama sulitnya dengan memperlihatkan bahwa situasi saat ini adalah bukti keberhasilan kebijakan yang ditempuh waktu itu. Apalagi praduga motif korupti cenderung sudah mendominasi benak publik. Juga kelemahan-kelemahan teknis – yang merupakan bentuk internal control atau tata kelola baku di situasi ‘normal’ lebih mudah ditunjukkan.

Unsur kegentingan dan alasan ‘makro’ akan cenderung abstrak, meskipun dilakukan oleh pihak yang secara undang-undang sebagai yang memang berwenang melakukannya dan sesuai dengan kompetensinya. Akan sangat mudah orang membayangkan, seandainya saya, tidak akan mengambil keputusan seperti itu – saat ini.

Sebagai gambaran bagaimana ‘perasaan’ pejabat otoritas keuangan mengilustrasikan ancaman krisis yang tak semudah ditunjukkan gejala suatu bencana alam, misalnya, adalah apa yang disampaikan, Timothy Geithner, pejabat bank sentral AS ini:

"I just would say again, although I don’t think any of us can support this with hard, quantifiable evidence, that conditions are so fragile and so tenuous now that by not acting tomorrow morning we would be taking an irresponsible risk that we would see substantial further erosion in confidence." (transcript rapat anggota dewan gubernur federal reserve tanggal 9 Januari 2008)

Untuk meyakinkan kondisi menghadapi ancaman krisis, Pak Boed sebagai respon atas pertanyaan pembela, juga menyampaikan bahwa pada tanggal 29 Oktober 2008, crisis management protocol (CMP) – yang dijelaskan sebagai seperangkat prosedur menghadapi krisis perekonomian sudah diminta diaktifkan.

Pak Boed juga menyampaikan beberapa kesaksian ‘kunci’ yang selama ini belum banyak diketahui publik untuk mendukung gambaran kondisi ‘genting’ saat itu, yaitu:

1.Bahwa tiga bank BUMN juga meminta suntikan dana kepada pemilik, yaitu pemerintah,  sebesar 15 triliun.

2.Negara tetangga sistem perbankannya dinilai lebih kuat dari Indonesia, seperti Singapore, Malaysia, Hong Kong dan Australia, sudah menerapkan blanket guarantee untuk antisipasi dan meredam kepanikan pelarian dana perbankannya.

Kemudian yang juga disinggung adalah adanya komuniksi dari wakil presiden Jusuf Kalla agar penanganan bank Century dilakukan sesuai dengan Perppu yang ada.

Sidang hari ini juga mengeksplorasi kejadian krisis tahun 1998 dimana Pak Boed saat itu sebagai salah satu direktur. Di satu sisi, ini bisa mendukung kompetensi sesuai kewenangan yang diberikan undang-undang, dalam memahami ancaman risiko situasi krisis dan memilih pendekatan kebijakan yang tepat untuk menanganinya agar tidak terulang dampak negatif yang begitu hebatnya bagi negara. Namun di sisi lain, bisa menimbulkan persepsi traumatis.

Pak Boed juga menegaskan bahwa FPJP sebenarnya bukan alat yang diutamakan. Alternatif-alternatif lain sudah dilihat dan diupayakan, termasuk mencari investor baru. Juga bahwa instrumen yang lebih tepat untuk permasalahan bank yang lebih serius, yaitu ‘fasilitas pembiayaan darurat’ (FPD) yang ada di Perppu no. 4 tahun 2008, yang biayanya menjadi beban anggaran pemerintah. Namun disampaikan bahwa ketentuan pemerintah untuk FPD belum siap dan dana pemerintah belum ada, hingga akhirnya semua instrumen yang tersedia di bank sentral dimanfaatkan terlebih dulu sampai akhirnya terpaksa harus dilakukan suntikan modal melalui penyertaan modal sementara oleh LPS.

Terkait dengan hal itu, it is fair to say, bahwa sejatinya pejabat negara di Indonesia kurang beruntung karena perangkat perundangan yang ada tidak lengkap! Contohnya, belajar dari pengalaman penanganan krisis 1998, UU Bank Indonesia tahun 1999 pasal 11 mengamantkan perlunya ada undang-undang jaring pengaman sektor keuangan terkait FPD, yang seharusnya sudah ada paling lambat tahun 2004, sampai saat ini belum ada !!!

Jadi, sudah tiga periode anggota DPR dan empat presiden, apa yang disebutkan di undang-undang tersebut belum juga terwujud. Jangan sampai hal sepert ini adalah by design ...

Hal krusial lain yang patus dicatat adalah ketika di dalam kesaksiannya, Pak Boed berusaha menegaskan adanya batas kewenangan antara gubernur, anggota dewan gubernur dan pejabat-pejabat di bawahnya, meskipun ditegaskan bahwa perubahan ketentuan FPJP merupakan keputusan bersama anggota dewan berdasarkan konsensus dan sesuai dengan kewenangan undang-undang.

Dalam persidangan juga diungkapkan bahwa ketentuan FPJP bukan satu-satunga peraturan yang diubah untuk merespon keadaan, ada sekitar 11 peraturan lain yang diubah.

Menjelang akhir kesaksiannya, sekitar pukul 19.30, Pak Boed meminta ijin majelis hakim untuk membacakan pernyataan penutup yang menegaskan beberapa poin penting, yaitu:

·Pak Boed memenuhi panggilan hakim untuk mendukung mengungkap kebenaran kasus bailout bank Century.

·Menunjukkan bahwa di alam demokrasi, siapapun memiliki kedudukan yang sama di depan hukum.

·Bahwa ancaman krisis pada periode sejak September 2008 adalah nyata dan dirasakan oleh praktisi perbankan, pelaku pasar keuangan serta pemerintah, yang antara lain ditunjukkan dengan keluarnya beberapa Perppu.

·Bahwa tanpa kebijakan blanket guarantee sebagaimana diterapkan di banyak negara, pilihan kebijakan menjadi terbatas untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan stabilitas perekonomian.

·Bahwa kebijakan yang bersifat tanggap darurat saat itu benar-benar dilandasi oleh itikad baik dan dilandasi oleh undang-undang yang sah.

·Apabila ada pihak-pihak yang memanfaatkan keadaan dan mencari keuntungan untuk pihak-pihak tertentu atau diri-sendiri agar ditindak dengan tegas.

Bagaimanapun, persidangan hari ini menunjukkan hal baru, yaitu menghadirkan saksi seorang pejabat tinggi negara, seorang wakil presiden yang masih aktif, dengan penambilan yang rendah hati dan sederhana selayaknya orang biasa. Seperti yang terlihat saat minum segelas air putih setelah diijinkan majelis hakim di proses persidangan yang memakan waktu hampir 12 jam.

Kita berharap bawah keadilan sesungguhnya yang terungkap, menjadi akhir cerita. Juga semestinya, semua bisa menahan diri menanti proses hukum mengungkap kebenaran materiil berdasarkan fakta dan bukti di persidangan, dan tetap berpegang pada azas praduga tak bersalah.

Pengalaman pahit dan mahal ini semoga menjadi pelajaran bagi semua pihak !!!

“Becik ketitik, olo ketoro. Sing salah bakal seleh. Gusti Allah ora sare”

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun