Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) merupakan landasan hukum mengenai macam-macam hak atas tanah di Indonesia. Negara memiliki kewenangan untuk mengatur hubungan hukum antara orang dengan tanah melalui pencetakan macam macam hak atas tanah agar tanah tersebut dapat digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan haknya. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah hak atas tanah tersebut dapat terjadi dimana? Berdasarkan UUPA, terdapat 3 macam tanah, yaitu:
1. Tanah Negara
Di atas Tanah Negara dapat dibebani oleh Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP). Hak atas tanah tersebut bisa terjadi di atas Tanah Negara dengan adanya penetapan Pemerintah (oleh instansi ATR/BPN) untuk diterbitkannya surat pemberian HM, HGU, HGB, dan HP di atas Tanah Negara.
2. Tanah Hak Pengelolaan (HPL)
Di atas Tanah Hak Pengelolaan (HPL) dapat dibebani oleh Hak Milik (HM), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP). Hak atas tanah tersebut bisa terjadi di atas Tanah HPL dengan cara adanya pemberian hak atas tanah oleh instansi yang mana yang berwenang yaitu ATR/BPN berdasarkan usul pemegang HPL, artinya negara yang mencatat berdasarkan rekomendasi dari pemegang tanah HPL untuk menerbitkan surat Keputusan pemberian hak atas tanah (HM/HGB/HP) yang kemudian didaftarkan yang baru kemudian diterbitkan sertifikat hak atas tanah (HM/HGB/HP) di atas tanah HPL.
Lalu, apakah HGU dapat terjadi di atas tanah HPL? Berdasarkan Pasal 28 ayat (1) UUPA, HGU hanya dapat berlaku di atas Tanah Negara. Sehingga apabila adanya pemberian HGU di atas tanah HPL, maka ini bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UUPA. HGU adalah satu satunya hak atas tanah yang hanya boleh berdiri/terjadi di atas tanah negara.
3. Tanah Hak Milik
Di atas Tanah Hak Milik dapat dibebani Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP). Hak atas tanah tersebut bisa terjadi di atas Tanah Hak Milik dengan cara pemberian HGB atau HP oleh pemegang hak milik dengan akta PPAT, yaitu Akta pemberian HP atau Akta pemberian HGB. Akta Pemberian tersebut kemudian didaftarkan di kantor pertanahan (BPN) yang kemudian akan menerbitkan HP atau HGB dengan tanda bukti adalah 2 sertifikat atas 1 bidang tanah yang mana sertifikat pertama dalam keterangannya berisi bahwa tanah dari si pemegang tanah hak milik ditumpangi dengan HGB/HP si pemohon HGB/HP. Sedangkan pada sertifikat kedua dalam keterangannya berisi bahwa HGB/HP si pemohon HGB/HP berdiri di atas tanah dari si pemegang tanah hak milik.
HPL adalah hak menguasai negara yang sebagian kewenangannya dilimpahkan kepada pemegangnya (pemegang HPL). Berdasarkan PP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, terdapat perubahan mengenai ketentuan HPL. Di dalam di UUPA, HGU tidak boleh berdiri di atas tanah HPL karena yang boleh berdiri di atas tanah HPL hanyalah HM, HGB dan HP. Sedangkan dalam Pasal 21 PP Nomor 18 tahun 2021 tersebut berisi bahwa tanah yang dapat diberikan HGU meliputi Tanah Negara dan Tanah HPL. Perubahan lain antara UUPA dengan PP Nomor 18 tahun 2021 adalah HPL dalam Pasal 4 PP Nomor 18 tahun 2021 menjelaskan bahwa HPL dapat dibuatkan di atas Tanah Negara dan Tanah Ulayat. Padahal Tanah Ulayat adalah suatu bentuk atau entitas yang berdiri sendiri. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena PP Nomor 18 Tahun 2021 itu tujuannya untuk mengundang investor sebanyak banyaknya.Â
Untuk perpanjangan hak, pada HGB di atas Tanah Negara pemberian haknya adalah 30 tahun, yang apabila habis masanya dapat dimintakan perpanjangan haknya untuk 20 tahun yang dapat dimintakan lagi pembaharuan haknya untuk 30 tahun walaupun haknya yang dimintakan perpanjangan belum habis, ini berdasarkan Pasal 41 angka (1) PP Nomor 18 tahun 2021 berbunyi "Permohonan perpanjangan jangka waktu hak guna bangunan dapat diajukan setelah tanahnya sudah digunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemberian haknya atau paling lambat sebelum berakhirnya jangka waktu hak guna bangunan". Sehingga tidak boleh langsung diberikan jangka waktu haknya untuk 80 tahun. Sedangkan dalam UUPA untuk pemberian hak apabila telah habis maka perlu di sertipikat dan dilakukan pendaftaran untuk perpanjangan yang kemudian pada saat perpanjangan telah habis maka baru diberikan pembaharuan. Jika pemberian hak pada HGB di atas Tanah Negara langsung 80 tahun maka itu bertentangan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi yang pernah ada.
Namun apabila lupa untuk memintakan pembaharuan ketika perpanjangan haknya telah berakhir maka dalam Pasal 41 ayat (2) PP Nomor 18 Tahun 2021berbunyi "Permohonan pembaruan hak guna bangunan diajukan paling lama 2 (dua) tahun setelah berakhirnya jangka waktu hak guna bangunan.", ini jelas amat sangat memberikan keleluasaan sedemikian rupa kepada pemegang HGB karena pembaharuan HGB dapat dilakukan paling lama 2 tahun sejak berakhirnya jangka waktu perpanjangan HGB. Sedangkan dalam UUPA, apabila jangka waktu telah habis maka bisa untuk redistribusi atau untuk keperluan keperluan tatanan tanah negara lainnya. Namun dalam UUCK, perlu menunggu 2 tahun untuk si pemegang hak mau melakukan permohonan pembaharuan HGB atau tidak. Ini dapat menghambat orang lain untuk bisa memperoleh sebidang tanah tersebut karena harus menunggu. Dalam UUPA tidak ada istilah pembaharuan hak, tetapi dalam PP Nomor 18 Tahun 2021 ini tercantum. Pembaharuan hak adalah pemberian hak dengan jangka waktu seperti pada waktu pertama kali diberikan dan karena pembaharuan tidak ada di dalam UUPA maka karena itu dibutuhkan oleh ketentuan itu kemudian muncul konsep pembaharuan hak.Â