Mohon tunggu...
darno kartawi
darno kartawi Mohon Tunggu... -

Saya suka musik bambu karena mudah didapat dimana-mana

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Lengger Dariah Banyumas

16 Januari 2014   00:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:48 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

LENGGER DARIAH

Di dalam perhelatan dunia kesenian Jawa yang terus mengalir seiring dengan perubahan jaman, nama Dariah mungkin terlalu kecil dan tidak bermakna. Dia bukan sosok creator yang mampu menghasilkan karya-karya fenomenal atau seorang seniman besar dengan performa yang mampu menyulut emosi penonton. Dariah hanyalah seniman kecil yang tinggal di desa pinggiran yang jauh dari hiruk-pikuk kemegahan kota. Dariah hanyalah sosok penari lengger ndesa yang tidak punya nama besar. Tetapi penari tradisional yang sekarang tinggal di Desa Plana, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas yang telah berusia lebih dari 80 tahun ini dapat menjadi penanda bagi eksistensi pertumbuhan dan perkembangan kesenian lengger di wilayah Banyumas dan sekitarnya.

Dariah dilahirkan di Desa Somakaton, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas dari keluarga miskin yang tidak memiliki kuasa apapun bagi pertumbuhan dan perkembangan sebuah kelompok masyarakat. Pada masa kecilnya bernama Sadam dan menjelang datangnya penjajah Jepang tahun 1942 sudah disunat. Dia dibesarkan di lingkungan keluarga petani semenjak kecil akrab dengan suasana pedesaan yang agraris, homogen, dan memiliki tradisi yang kuat.Latar belakang kehidupan Dariah telah menuntun dirinya untuk memilih profesi sebagai seorang lengger yang di kemudian hari telah mengubah jalan hidupnya, menjalani trans-gender menjadi seorang “perempuan”.Bagi Dariah, lengger adalah salah satu pilihan hidup.Selain menjadi media ekspresi dan aktualisasi diri, lengger diyakininya sebagai media untuk melaksanakan darma kepada leluhur melalui tradisi yang telah diwariskan antar generasi.

Bagi Dariah, lengger telah memberinya daya hidup.Menjadi seorang lengger bagi Dariah bukan sekedar persoalan aktualisasi diri, tetapi juga wujud totalitas pengabdian kepada tradisi warisan leluhur. Melalui pementasannya, Dariah mampu menawarkan hiburan, sarana kesenangan, aktualisasi diri atau pernyataan jatidiri. Ini sebagaimana diungkapkan Kessing bahwa kesenian memiliki fungsi sebagai sarana kesenangan, aktualisasi diri atau pernyataan jatidiri, integratif, terapi atau penyembuhan, pendidikan, pemulihan ketertiban serta sarana simbolik yang mengandung kekuatan magis (dalam Budhisantoso,1994:8). Hal tersebut memberikan gambaran betapa dalam menjalani sebagai penari lengger, Dariah tidak murni untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga merupakan panggilan hidup untuk memberi warna bagi tradisi masyarakatnya sebagai kekuatan perjuangan setiap orang agar terus survive di tengah kehidupan sosial di lingkungannya.

Bagi masyarakat desa Somakaton lengger dikenal sebagai jarwo dhosok (kata bentukan). Koderi menyebutkan bahwa istilah lengger berarti diarani leng jebulane jengger (dikira perempuan ternyata laki-laki) (1991:60). Hal ini karena penarinya adalah seorang laki-laki yang berdandan seperti wanita.Pendapat tersebut terbukti betapa Dariah yang berjenis kelamin laki-laki bernama Sadam, kemudian menyiapkan dirinya untuk tampil sebagai sosok perempuan yang njoged dan nembang di atas panggung pertunjukan. Dariah pun rela dielu-elukan dan dikagumi sebagai seorang wanita cantik yang memberikan gairah seksual bagi para lelaki.

Dariah mengalami masa kejayaannya sejak awal kemerdekaan (tahun 1945) sampai dengan meletusnya pemberontakan G30S/PKI (1965).Meskipun masyarakat mengetahui Dariah adalah seorang pria, namun tidak mempengaruhi image penonton bahwa penari di atas panggung yang sedang ditonton adalah seorang “wanita”.Lebih dari itu, saat di luar panggung pun banyak lelaki yang menaruh rasa cinta kepadanya. Sampai sekarang masih ada beberapa saksi hidup yang pernah menjalin hubungan asmara dengan Dariah di saat lengger Somakaton itu mengalami masa keemasannya.

Pertunjukan lengger yang dilakukan oleh Dariah dapat menjadi penanda yang sangat jelas bagi eksistensi pertunjukan rakyat Banyumas yang mendapat pengaruh dari ragam pertunjukan yang berasal dari wilayah negarigung kraton Surakarta dan Yogyakarta (masyarakat setempat menyebutnya dengan istilah Wetanan). Dalam pertunjukannya, Dariah selain menyuguhkan ragam tarian Banyumasan dengan iringan gendhing-gendhing Banyumasan, juga disuguhkan ragam tarian Wetanan dengan iringan gendhing-gendhing Wetanan pula. Sebagai contoh di awal pertunjukan, Dariah selalu menyajikan tari gambyongan dengan gerak tarian Wetanan diiringi gendhing ladrang Pangkur laras slendro pathet sanga. Kekuatan pengaruh Wetanan hadir kembali pada sesi banceran yang disebut pula tayuban. Pada sesi ini Dariah kembali menyajikan ragam gerak tarian Wetanan dengan diiringi gendhing Ayak-ayak laras slendro pathet manyura yang dilakukan pada saat dia turun panggung untuk mengajak penonton ikut berjoged. Di tengah penonton dia menyajikan Jineman Magelangan yang digunakan untuk membius penonton agar tertarik ikut berjoged dengannya di atas panggung pertunjukan.

Sisi lain dari pementasan Dariah adalah bahwa lengger di Banyumas terbukti dapat dengan mudah dibedakan dengan ronggeng. Hingga saat ini sebagian orang tidak pernah dapat membedakan lengger dan ronggeng dari sisi wujud pertunjukan. Pada umumnya orang hanya memahami lengger dan ronggeng hanya dibedakan pada tataran pelakunya. Lengger dilakukan oleh pria yang berdandan wanita, sedangkan ronggeng memang disajikan oleh wanita yang sesungguhnya. Dari sisi garap pertunjukan dapat diperoleh gambaran nyata, betapa lengger yang berkembang di sisi kiri (timur) aliran sungai Serayu memliki kedekatan dengan kultur Jawa (kraton). Sedangkan ronggeng yang berkembang di sisi kanan (barat) aliran sungai Serayu lebih memiliki kedekatan dengan kultur Sunda. Fenomena pertunjukan Dariah dapat memberikan penanda tentang batas wilayah persebaran kultur Jawa di wilayah Banyumas dan sekitarnya.

Di masa tua Dariah ternyata banyak orang tersadar betapa dia layak menjadi ikon pertumbuhan lengger di masa lalu. Saat ini hanya tinggal Dariah, tokoh yang benar-benar mengalami masa keemasan tradisi lengger di Banyumas yang masih tersisa. Di usianya yang sudah renta semakin banyak dikunjungi oleh seniman dari dalam dan luar negeri yang umumnya bertujuan untuk melihat kilas balik pertumbuhan lengger di masa lalu. Bahkan pada tahun 2011 Dariah mendapat anugrah dari Presiden Republik Indonesia sebagai Maestro Seni Tradisional.

Penelitian tentang lengger Dariah menjadi menarik terkait dengan beberapa hal. Pertama, melalui penelitian ini dapat diketahui tentang proses kesenimanan Dariah yang telah mempengaruhi hidupnya dengan sebuah keputusan yang sangat ekstrem, yaitu ketika dia mengubah nama dari yang semula Sadam menjadi Dariah, dan selanjutnya memilih menjadi “perempuan” baik di atas panggung maupun dalam kehidupan sehari-hari. Ini sangat menarik karena kehidupan berkesenian ternyata telah mampu mengubah haluan hidup dan diputuskan sendiri oleh Dariah.

Kedua, eksistensi Dariah di lingkungan sosialnya. Dengan pilihan keputusan menjadi seorang lengger, Dariah terbukti mampu eksis di masyarakat, menjadi salah satu ikon pemenuhan kebutuhan estetis masyarakat Somakaton dan sekitarnya. Kekuatan Dariah setelah mengubah penampilan dari laki-laki menjadi “perempuan” terbukti telah berdampak pada imajinasi masyarakat tentang sosok dirinya. Dariah bukan saja digandrungi ketika menari di atas panggung, tetapi juga banyak lelaki yang kasmaran terhadap dirinya saat berada di luar panggung.

Ketiga, wujud sajian lengger yang dilakukan oleh Dariah telah memberikan penanda adanya kekuatan gaya Wetanan di dalam pertunjukan rakyat di Banyumas. Ini menjadi penting karena betapapun masyarakat Banyumas memiliki gaya tersendiri dalam musik dan tari, ternyata tetap membuka peluang bagi hadirnya gaya lain dalam pertunjukan lengger. Keempat, pertunjukan lengger oleh Dariah juga dapat menjadi penanda bagi batas wilayah sebaran budaya Wetanan (budaya Jawa) dan Kulonan (budaya Sunda) di wilayah Banyumas. Dariah yang hidup di sisi kiri (timur) aliran sungai Serayu terbukti memiliki wujud pementasan yang sangat dipengaruhi oleh kultur Jawa. Ini dapat dengan mudah dibedakan dengan pertunjukan ronggeng yang berkembang di sisi kanan (barat) aliran sungai Serayu yang terbukti banyak dipengaruhi oleh kultur Sunda.

Penelitian ini menjadi penting mengingat sejauh ini kultur Banyumas lebih dipahami dengan cara digebyah uyah (disamaratakan), seolah-olah kultur Banyumas hanya satu wujud yang dipahami sebagai kebudayaan caruk bawor atau kebudayaan percampuran dari kultur Jawa, kultur Sunda, dan kultur local Banyumas. Padahal sesungguhnya, kultur Banyumas berkembang dalam lingkungan kelompok-kelompok kecil masyarakat yang dibatasi hutan, sungai, sawah, tegalan, ara-ara, dan tempat-tempat tanpa hunian lainnya. Setiap kelompok kecil masyarakat memungkinkan memiliki perbedaan kebiasaan, tradisi, dan ekspresi dari nilai cultural mereka. Oleh karena itu menjadi sangat masuk akal apabila di dalam karawitan dan tari gaya Banyumas tersembunyi tiga macam warna gaya, yaitu warna Wetanan (Surakarta-Yogyakarta), warna Kulonan (Sunda), dan warna Banyumasan itu sendiri. Semua itu hidup dan berkembang bersama-sama mewarnai gagrag atau gaya dalam berkesenian. Melalui penelitian ini memungkinkan dilakukan pemetaan kultural tentang batas-batas persebaran kebudayaan, terutama kebudayaan Jawa dan kebudayaan Sunda. Dengan penelitian ini pula dapat diketahui latar belakang kultural tentang keberadaan pertunjukan rakyat Banyumas yang tersaji di dalam lengger.

Penelitian semacam ini sangat perlu dilaksanakan mengingat dalam pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan sangat perlu dilakukan berbagai studi yang dilakukan kian cermat tentang berbagai aspek di dalamnya, baik menyangkut aspek diakronis, aspek content atau isi, pemetaan wilayah, masyarakat pendukung, hingga wujud tampilannya. Melalui studi yang demikian maka akan semakin memudahkan pemahaman eksistensi masyarakat, sekaligus memahami secara detail tentang permasalahan-permasalahan kebudayaan dari sebuah kelompok sosial yang terdapat di wilayah marginal survival sebagaimana dijumpai pada kebudayaan Banyumas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun