Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Perjalanan Menulis Novel "PHI"

7 September 2018   10:03 Diperbarui: 7 September 2018   13:28 2823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel PHI akhirnya terbit. Bahagia rasanya melihat naskah yang ditulis bertahun-tahun itu ada di rak Gramedia Matraman kemarin. Meski, bukan buku pertamaku, tetap saja beda rasa bahagia yang hadir kali ini.

Bertahun-tahun prosesnya. Mulai dari nol, ketika aku sama sekali tak tahu harus bagaimana menulis novel. 2011. Napas menulisku yang pendek, karena baru belajar menulis cerpen, hanya menghasilkan tak lebih dari 20 halaman selama 2011. Plus tanpa ketiadaan kerangka, alur dan plot berubah-ubah dalam penulisan cerita. Hingga pertengahan 2014, aku baru menulis tak lebih dari 70 halaman saja. 

Pada 2014 itu, ada lomba menulis novel Dewan Kesenian Jakarta. Aku niatkan untuk ikut serta. Minimal 100 halaman. Aku berusaha sebisanya, namun tenggat waktu akhir Agustus, jumlah halaman tak mencukupi. Putus asa, tahu-tahunya ada pengumuman tenggat waktu diperpanjang. 

Di saat yang sama, aku lulus tugas belajar DIV di STAN. Dari Sumbawa, aku kembali ke Bintaro pada awal September. Setelah mendapatkan kos, aku mulai menulis lagi. Selama satu minggu, setiap malam, aku begadang hingga pukul satu-dua dini hari. Jadilah sekitar 140-an halaman. Naskah itu akhirnya bisa kukirimkan ke perlombaan.

Mulanya, ia berjudul Pi. Bukan Phi.

11 besar DKJ 2014.
11 besar DKJ 2014.
Tak lama kemudian, pengumuman lomba diumumkan. Pi masuk ke dalam long list nominasi pemenang, meski tidak menang. Ada 11 judul. Pi berada di urutan ketujuh. 

Pi dan Phi, Apa Bedanya

Pi berkaitan dengan lingkaran. 22/7. 3,14...sekian sekian. Phi (dibaca fi)  adalah rasio emas. Berkaitan dengan deret Fibonacci. 1,618 sekian sekian.

Setelah DKJ, Pi terkatung-katung. Pi kuserahkan pada sebuah penerbit yang sebelumnya menerbitkan 4 Musim Cinta, yang merupakan nobel kolaborasi 4 penulis (aku salah satunya). Diterima, redaktur menyarani aku terlebih dahulu menyuntingnya. Di situlah perubahan terjadi. Aku merasa filosofi pi kurang tepat, meski isinya bicara tentang putaran waktu (yang ada kaitannya dengan lingkaran). Aku menggantinya dengan Phi sebagai lambang dari determinisme, takdir, ketetapan yang rigid di alam semesta.

Mengganti judul, berarti juga harus menyinkronkan banyak hal di dalamnya. Hingga akhirnya kuserahkan hasil revisi kepada redaktur.

Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Sang redaktur memiliki pendekatan fiksi yang berbeda denganku. Ibarat kata, redaktur pelaku normativisme, aku pelaku positivisme. Tidak ada titik temu. Akhirnya, sebagai solusi, naskah tetap diproses, dan aku diurus oleh editor yang lain.

Kover lama Phi.
Kover lama Phi.

Berproses dan berproses, pada 2016, akhirnya naskah Phi selesai disunting. Kover dibuat. ISBN diurus. Ancang-ancang marketing sudah dilakukan. Sudah diumumkan akan terbit pada bulan Agustus 2016. 

Tapi entah karma apa yang kujalani, beberapa hari sebelum jadwal naik cetak, sang redaktur berkata kepadaku, "Naskahmu tidak jadi diterbitkan, ya. Saya baca, kamu tetap harus merevisinya menjadi bla bla bla."

Jantungku tertohok. Sakit hati. Marah. Kecewa. Bercampur aduk. Aku bilang tidak. Aku tarik naskah. Pedih rasanya dibegitukan. Teringat beberapa tahun sebelumnya, pernah aku ikut event sayembara kumpulan cerpen. Kumpulan cerpenku terpilih untuk diterbitkan oleh sebuah grup penerbit yang cukup besar. Sudah berbincang dengan editornya, dikirimkan buku-buku sebagai awal jalinan kerja sama. Lalu batal begitu saja.

Hikmahnya, gaes, kesalahanku adalah tidak meminta kontrak setelah proses kata diterima. Kalau teman-teman nanti naskahnya diterima penerbit, langsung minta bukti tertulis berupa kontrak yang jelas di awal. Jangan mau berproses dulu sebelum ada hal itu, kalau tidak mau nasib terkatung-katung. Bahkan penerbit besar pun kerap membuat calon penulisnya bertanya-tanya kapan dan berapa lama proses diterima sampai diterbitkan.

Berkenalan dengan Shira Media

Sebelum ke Shira Media, Phi sempat saya kirimkan ke Gramedia. Namun, setelah diminta menunggu, 6 bulan ditunggu, tak juga ada jawaban. Ke Falcon, lebih kurang 10 hari, aku mendapat jawaban, naskah ditolak. 

Setelah itu aku ke Mojok, dan seminggu kemudian naskah juga ditolak. Sempat diterima oleh seorang mantan editor Gagas Media yang baru bikin penerbitan. Dari janji seminggu-dua minggu, tapi berbulan-bulan tak jua ada kabar. Nasib medioker.

Awal 2018, buku kumpulan cerpenku diterbitkan sebuah penerbit di Yogya. Dalam sebuah obrolan singkat, sang CEO menceritakan rekannya yang punya penerbitan. Shira Media. Biasanya mereka menerbitkan buku hobi dan pengembangan diri. Sekarang, mereka baru mau ekspansi ke sastra. Saya pun melihat instagram dan webnya dan benar baru-baru ini mereka menerbitkan banyak buku sastra terjemahan. Temanku itu kemudian bilang, mereka sedang mencari penulis sastra lokal juga. 

Akhirnya Januari kukirimkan naskahku. Alhamdulillah diterima. Memang panjang prosesnya. Diedit lagi. Bikin kover lagi. Lama di kover karena beberapa kali usulan, rasanya tak cocok juga. Akhirnya, kover dibuat oleh ilustrator yang sedang hits saat ini @sukutangan. Hasilnya memuaskan. Le

Dan akhirnya, ya, akhirnya, setelah naik cetak awal Agustus... sekarang Phi sudah tersedia di toko buku.

Jangan Menyerah!

Aku selalu mengernyitkan dahi manakala ada orang yang tidak terima dicuekin penerbit, ditolak, padahal baru sekali-dua kali berusaha. Percayalah, setiap tulisan itu punya takdirnya sendiri. Kita tidak mungkin menulis untuk semua orang. Jadi, kalau nanti ada yang tidak suka dengan tulisan kita, ya itu juga sudah sunatullah.

Phi di Togamas Supratman, Bandung.
Phi di Togamas Supratman, Bandung.
Ya, terbitnya Phi semoga saja jadi momentum untuk kelahiran karya yang baru lagi. Karena, kematian bagi penulis adalah ketika ia sudah merasa puas dengan karyanya. Penulis harus terus merasa haus untuk menghasilkan karya yang lebih baik dan lebih baik lagi.

Kamu, kalau menemukan Phi di toko buku, jangan ragu, culik saja ia ke kasir, ya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun